Walaupunbertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai "procedural law" dan hukum pidana materiil sebagai "substantive law". Perbandingan hukum pidana merupakan kegiatan memperbandingkan sistem hukum yang satu dengan yang lain baik antar bangsa,negara,bahkan agama,dengan maksud mencari dan mensinyalir perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan dengan memberi penjelasannya dan meneliti bagaimana berfungsinya hukum dan bagaimana pemecahan yuridisnya di dalam praktek serta faktor-faktor non hukum yang mana saja yang hanya dapat di ketahui dalam sejarah hukumnya,sehingga perbandingan hukum yang ilmiah memerlukan perbandingan sejarah hukum. hukumitu sendiri. Berbeda dengan Inggris, Contempt of Court telah diatur dalam Peradilan Pidana di Indonesia Dengan Sidang Peradilan Pidana di Inggris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Contempt of Court, Profesi Hukum. Perbandingan konsep , Oktavia Sastray Anggriani, FH UI, 2012. ABSTRACT i TUGAS PERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DENGAN HUKUM PIDANA DI BERBAGAI NEGARA EROPA “ JERMAN, AUSTRIA, DENMARK, DAN PORTUGAL” DOSEN PENGASUH INDANG SULASTRI, Oleh NAMA ERIK SOSANTO NIM EAA 110 039 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA FAKULTAS HUKUM 2013 Sistem sanksi pidana Jerman dengan Indonesia Jerman merevisi dan memberlakukan KUHP - nya yang baru pada tahun 1975. Revisi ini dapat dikatakan pemolesan KUHP lama, sehingga sesuai dengan perkembangan zaman. Beberapa hal yang perlu dicatat sebagai sesuatu yang berbeda dengan KUHP Indonesian adalah sebagai berikut 1. Sesudah perang dunia II berakhir, negara-negara eropa pada umumnya sangat kecewa terhadap model rehabilitasi dalam pemidanaan. Jerman menerapkan pembinaan klinik clinical tretment . 2. Diterapkan alternatif denda sebagai penganti pidana penjara yang singkat, dalam hal ini diperlukan apa yang disebut denda harian day fine pada tahun 1975. Sebenarnya sistem denda harian ini sudah lama dikenal di negara-negara Skandinavia. Denda harian berarti perhitungan besar denda didasarkan kepada pendapatan pelanggar per hari. Jadi, perimbangan berapa lama orang seharusnya dipidana penjara dibanding dengan jika diganti denda, maka besar denda yang dikenakan ialah berapa besar pendapatan orang itu per hari. Maksud ketentuan ini agar pidana denda menjadi adil. Untuk tiba pada denda harian individual yang lebih jitu, hakim menempuh cara – cara seperti yang dibawah ini. a. Kesalahan dinyatakan dan dikonversasi dalam pidana penjara menurut hari. b. Denda harian diperhitungkan sesuai dengan pendapatan per bulan terdakwa. c. Utang – utang yang ada sekarang dikurangkan d. Jumlah itu dibagi jumlah hari dalam sebulan. 2 e. Jumlah yang ditentukan dalam bagian 1 dan 4 dikali sehingga diperoleh jumlah denda. yang harus dibayar misalnya [ A $300 B 30] * C 100 = F $100 A = Jumlah pendapatan per bulan B = jumlah hari per bulan C = jumlah hari seimbang dalam pidana penjara F = jumlah denda yang harus dibayar 3. Dasar pemikiran Alfons Wohl, seorang bekas jaksa federal, mempertahankan bahwa langkah pertama dalam memperbarui sistem pidana, ialah menganut ajaran bahwa pembuat delik harus dibebaskan segera setelah kelihatan dapat diterima baik oleh dia maupun oleh masyarakat. 4. Disamping denda harian sebagai alternatif pemenjaraan, juga diadakan penundaan pidana, dikenal pula penghentian penuntutan yang dikenakan oleh penuntut umum sebagai pidana percobaan praperadilan. 5. Pidana pokok dalam KUHP jerman hanya dua yang penting, yaitu pidana penjara yang maksimum 15 tahun atau seumur hidup, dan pidana denda sebagai alternatif terpenting. Disamping itu, dikenal pidana yang ditunda suspended sentence. 6. Tindakan hukum yang menyebabakan hilangnya kemerdekaan yaitu penyembuhan sosial, sedangkan tindakan yang tidak menyebabakan hilangnya kemerdekaan yang disebut dengan tindakan preventif termasuk pencabutan dan penundaan surat izin mengemudi dan larangan menjalankan profesi. 3 Sistem sanksi pidana Austria dengan Indonesia Hukum pidana austria selalu sejajar dengan hukum pidana jerman, yang berbeda ialah pelaksanaannya. Beberapa hal yang perlu dicatat sebagai sesuatu yang berbeda dengan KUHP Indonesian adalah sebagai berikut 1. Pidana bersyarat dan pelepasan bersyarat sudah lama ada di austria, hampir seumur dengan yang ada di indonesia. Tetapi alternatif utama bagi pidana penjara,yaitu probation dan parole baru sejak tahun 1966 dan denda harian day fine sejak tahun 1975. Jadi, sesudah perang dunia. 2. Pidana pokok hanya pidana penjara seumur hidup dan denda. Keduanya dapat diterapkan bersamaan. 3. Tindakan hukum terhadap pelanggar sakit jiwa, peyalah guna narkotika dan tersangka yang ketagihan obat dan multi residivis yang berbahaya, masingmasing kelompok dikenakan pengurangan dalam waktu tertentu atau jangka waktu yang tidak terbatas. 4. Pidana denda dikenakan kepada semua pidana penjara sampai 6 enam bulan, kecuali jika dipandang perlu terdakwa dipenjara untuk mencegah mereka melakukan delik lagi. Sistem sanksi pidana Portugal dengan Indonesia KUHP portugal termasuk kuhp modern dalam arti sangat baru. KUHP ini disususn sama sekali secara revolusioner radikal merombak sistem yang lama. KUHP ini mulai berlaku 1 januari 1983. Sedangkan kuhap-nya lebih baru lagi, mualai 4 berlaku 1 januari 1987. Memang seharunya KUHP lebih dahulu diciptakan daripada KUHAP. Berlainan dengan kita, yang KUHAP diciptakan lebih dahulu. Titik sentral pembaruan hukum pidana di portugal terletak pada dekriminalisasi dan humanisasi administrasi penuntutan pidana, pengurangan pidana penjara, penekanan kepada perlindungan masyarakat dan rehabilitasi pelanggar hukum. Beberapa hal yang perlu dicatat sebagai sesuatu yang berbeda dengan KUHP Indonesian adalah sebagai berikut 1. Sanksi pidana yang tidak terdapat dalam kuhp indonesia, ialah pidana yang ditunda, teguran dimuka umum, dan pidana kerja sosial. Tetapi untuk pidana kerja sosial ada didalam ruu KUHP indonesia. 2. Pidana denda di KUHP indonesia bersifat umum, artinya sama jumlah maksimumnya bagi pelanggar untuk delik yang sama. Hal ini tidak didasarkan atas pendapatan pelanggar delik dihitung per hari. Sedangkan denda dalam KUHP portugal ini sama dengan jerman tentang pelaksanaannya, yaitu didasarkan kepada pendapatan pelanggar per hari serta Pidana Denda selain dapat menjadi alternatif pidana penjara, dapat juga berdiri sendiri sebagai pidana utama. 3. Pidana tambahan ialah pemecatan atau diskors dari jabatan publik atau penolakan hak unuk menjabat jabatan tertentu, pekerjaan atau fungsi. 4. Pidana yang relatif tertentu tidak ditentukan jangka waktunya ialah semacam pidana penjara yang dalam keadaan tertentu dikenakan kepada penjahar profesional atau kebiasaan, atau yang ketagihan alkohol atau obat. Pidana jenis 5 ini tidak terdapat dalam KUHP indonesia, juga RUU KUHP. Ini merupakan pidana model baru, yang benar-benar sesuai dengan tujuan pemidanan yang berupa rehabilitasi. 5. Tindakan hukum, berupa tindakan untuk keselamatan publik dikenakan kepada pelanggar yang tidak dapt dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, termasuk penenmpatan pada lembaga sosial dan laragan untuk menjalankan profesi atau bisnis pekerjaan tertentu. 6. Pidana penjara di portugal hanya ada pidana penjara minimum 1 satu bulan, berbeda dengan KUHP indonesia 1 satu hari. 7. Hakim diberi kesempatan untuk menjatuhkan pidana yang sampai 3 bulan dijalankan sebagai penahan akhir pekan weekend atau penahan setengah semi detention. Hanya jika pidana penjara singkat tidak dapat diganti dengan denda harian day fine. Sistem sanksi pidana Denmark dengan Indonesia Denmark menciptakan kodifikasi pertama kali tahun 1683 dengan nama DANSKE LOV. Bentuknya belum modern sebagaimana kuhp berbagai negara dewasa ini. Pada tahun 1866 diciptakan KUHP tersendiri dan berlaku sampai tahun 1933, suatu yang diciptakan tahun 1930. Beberapa hal yang perlu dicatat sebagai sesuatu yang berbeda dengan KUHP Indonesian adalah sebagai berikut 6 1. Penahanan sederhana berlansung palaing kurang 7 hari dan paling lama 6 bulan. Pidana ini sejajar pidana kurungan paling lama 1 tahun dan paling kuran 1 hari di KUHP indonesia hanya yang berbeda jangka waktunya. 2. Pidana denda bode di denmark sama halnya dengan jerman, austria, dan portugal dengan cara denda harian day fine, bedanya hanya KUHP denmark denda yang ditentukan pasti. Kuhp indonesia tidak menentukan minimum dan maksimum denda. 3. Di kuhap denmark jaksa dapat menyampingkan perkara dengan syarat terdakwa membayar denda yang ditentukan oleh jaksa dan dikuatkan oleh seorang hakim, yang disebut TILTALEFRAFALD. Sedangkan di KUHAP indonesia jaksa agung saja yang dapat menyampingkan perkara dan hal tersebut didasarkan atas demi kepentingan umum. 4. Jika denda tidak dibayar di denmark di konvesikan menjadi pidana penjara, di KUHP indonesia di konvesikan menjadi pidana kurungan. 5. Di denmark dikenal pidana kerja sosial dan samksi penahanan untuk pengamanan yaitu sanksi ini bersifat pembinaan. 6. Di KUHP denmark terdapat jenis pidana yang ditunda, dikenal juga di KUHP indonesia hanya saja bentuknya berupa pidana bersyarat. Sedangkan yang membedakannya pidana yang ditunda terdapat penentuan fix pidana tertunda. SUMBER Andi hamzah, Perbandingan Hukum Pidana, jakarta, cet. 2, Sinar Grafika, 1995 Penelitianini bertujuan untuk menganalisis asal mula dan penerapan praperadilan dalam kaitannya dengan Habeas Corpus dan menelisik sejauh mana pranata hukum Habeas Corpus dari sistem peradilan pidana Inggris ini diadaptasikan ke dalam sistem peradilan pidana Indonesia berpotensi berkembang menjadi malicious.
PERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN INGGRIS TUGAS PERBANDINGAN HUKUM PIDANA SEBAGAI PENGGANTI KUIS DISUSUN OLEH AHMAD FITRU ROZAQ 14110059 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TAMAN SISWA PALEMBANG TAHUN 2017 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Studi perbandingan hukum pidana pada dasarnya memperbandingkan berbagai sistem hukum yang ada. Dalam Black’s Law Dictionary di definisikan “Comparative Jurisprudence is the study of the principles of legal science by the comparison of various systems of law” dalam hal ini yang diperbandingkan adalah dua atau lebih sistem hukum yang pidana positif Indonesia ialah berasal dari keluarga hukum CivilLaw System yang mementingkan sumber hukum dari peraturan perundangan yang ada dan berlaku di Indonesia. Sementara Inggris menganut sistem hukum Common Law System yang mengutamakan kebiasaan yang berlaku di sana. Kebiasaan tersebut dapat berupa Norma maupun putusan-putusan hakim sebelumnya. Selain perbedaan seperti yang tersebut diatas, kedua sistem hukum pidana kedua negara sebenarnya memiliki kesamaan. Di Indonesia dikenal hukum pidana adat yang sampai saat ini masih diakui dan dipakai dalam masyarakat. Dilihat dari sumber hukumnya, sebenarnya hukum pidana adat tersebut berasal dari kebiasaan yang berlaku dimasyarakat. Hal tersebut sama halnya dengan sumber hukum common law yang berasal dari kebiasaan yang ada di masyarakat. Setiap sistem hukum, pasti memiliki asas-asas yang kemudian dijabarkan dalam aturan-aturan hukumnya. Salah satu asas hukum yang sangat penting dan dimiliki oleh setiap sistem hukum adalah asas legalitas atau dikenal juga dengan asas “Nullum delictum, nulla poena, sina praevia lege poenali” B. Permasalahan Perbedaan Asas Legalitas Hukum Pidana di Indonesia dengan di Inggris ? 2. Apakah Asas Strict liability di Indonesia sama dengan strict liability di inggris ? 3. Apakah Perbedaan Sistem Peradilan Hukum Pidana Indonesia dengan di Inggris ? .BAB II PEMBAHASAN A. Perbandingan Dan Perbedaan Asas Legalitas Indonesia Dengan Asas Legalitas Inggris a. Asas Legalitas di Indonesia Asas legalitas di Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi ”tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturanpidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.Konsekuensi dari pasal tersebut ialah bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak dapatdipidana; jadi dengan asas ini hukum yang tidak tertulis tidak memiliki kekuatan hukum untuk diterapkan. Namun atas hal itu dikecualikan terhadap daerah-daerah yang dulu termasuk kekuasaan pengadilan swapraja dan pengadilan adat dengan dilakukan pembatasan-pembatasan itu KUHP Indonesia juga melarang adanya analogi terhadap suatu perbuatan konkret yang tidak diatur oleh undang-undang. b. Asas Legalitas Di Inggris Asas Legalitas di Inggris walaupun asas ini tidak pernah secara formal dirumuskan dalam perundang-undangan, namun asas ini menjiwai putusanputusan pengadilan. Karena bersumber pada case law, pada mulanya pengadilan di inggris merasa dirinya berhak menciptakan delik. Namun dalam perkembangannya, pada 1972 House of Lords menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi tampaknya ada pergeseran dari asas legalitas dalam pengertian materiil ke asas legalitas dalam pengertian pengertian formal. Artinya, suatu delik oleh hakim berdasarkan common law hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat putusan pengadilan, namun dalam perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang statute law. Sehingga di dalam Sistem Hukum Inggris yaitu Common Law dimana prinsipnya hukum tidak tertulis yang jadi patokan nilai yang ada pada masyarakat. Peran hakim menciptakan kaidahkaidah hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat. Hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis asas doctrine of precedent. Sumber hukum utama adalah putusan hakim yurisprudensi. Sehingga dari kedua Asas diatas dapat diketahui perbedaannya yaitu 1. Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Inggris adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari putusan hakim yurisprudensi. Jadi dalam memutuskan suatu perbuatan pidana di inggris biasanya bersumber pada yurisprudensi hakim. 2. Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Indonesia adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan dalam pemutusan suatu perbuatan pidana Indonesia tetap bersumber menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. B. Perbandingan Asas Strict Liability Hukum Pidana Indonesia Dengan Hukum Pidana Inggris a. Asas Stict Liability Indonesia Dalam perkembangan hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula tindak-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang disyaratkan. Cukuplah apabiIa dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak-tindak pidana yang demikian itu disebut offences of strict liability atau yang sering dikenal juga sebagai offences of absolute prohibition. Strict liability disebut juga absolute liability. Istilah dalam bahasa Indonesia yang saya gunakan adalah "pertanggung jawaban mutlak". Mardjono Reksodiputro dalam salah satu tulisannya diterapkannya asas strict liability di Indonesia yang menganut system Eropa Continental, yaitu “Berhubung kita tidak mengenal ajaran Strict liability yang berasal dari system hukum Anglo-Amerika tersebut, maka sebagai alasan pembenar dapat dipergunakan ajaran feit materiel yang berasal dari system hukum Eropa Kontinental. Dalam kedua ajaran ini tidaklah penting adanya unsur kesalahan. Ajaran strict liability hanya dipergunakan untuk tindak pidana ringan. Dalam praktik di Indonesia, ajaran strict liability sudah diterapkan, antara lain untuk pelanggaran Ialu lintas. Para pengemudi kendaraan bermotor yang melanggar lampu lalu lintas, misalnya tidak berhenti pada waktu lampu lalu lintas menunjukkan lampu yang berwarna merah menyaIa, akan ditilang oleh polisi dan selanjutnya akan di sidang di pengadilan. Hakim dalam memutuskan hukunan atas pelanggaran tersebut tidak akan mempersoalkan ada tidak adanya kesalahan pada pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas itu. Pada Pasal 211 KUHAP pembuktian pelanggaran-pelanggaran jenis lalu lintas jalan tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan nyata seketika itu, karena tidak mungkin dipungkiri lagi oleh pelanggar. Berita acara yang ditiadakan diganti dengan bukti pelanggaran lalu lintas tertentu disingkat TILANG yang diisi oleh penegak hukum POLRI Satuan Lalu Lintas. Oleh karena itu, tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat tindakan pidananya telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas "strict liability" b. Asas Strict Liability Inggris Walaupun pada prinsipnya berlaku asas Mens Rea , namun di Inggris ada delik – delik yang tidak mensyaratkan adanya Mens Rea berupa intention, recklessness, atau negligence. Si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang – undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Di sini berlaku apa yang disebut strict liability yang sering diartikan secara singkat liability without fault pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Menurut common law, Strict Liability berlaku terhadap 3 macam delik 1. Public nuisance gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan. 2. Criminal libel penghinaan/fitnah, pencemaran nama baik 3. Contempt of Court pelanggaran tata tertib di pengadilan Misalnya mengancam Jaksa, hakim dan Saksi. Prinsip pertanggungjawaban mutlak strict Liability merupakan prinsip pertanggung jawaban hukum liability yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability jika penggunaan tersebut bersifat non natural atau di luar kelaziman, atau tidak seperti biasanya. Jenis pertanggung jawaban ini muncul sebagai reaksi atas segala kekurangan dari system atau jenis pertanggungjawaban fault based liability. Pertanggung jawaban hukum konvensional selama ini menganut asas pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan liability based on fault, artinya bahwa tidak seorangpun dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya tidak terdapat unsur-unsur kesalahan. Dalam kasus lingkungan dokrin tersebut akan melahirkan kendala bagi penegakan hukum dipengadilan karena dokrin ini tidak mampu mengantisipasi secara efektif dampak dari kegiatan industri modern yang mengandung resiko-resiko potensial. Pertanggung jawaban mutlak pada awalnya berkembang dinegara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon atau common law, walaupun kemudian mengalami perubahan perkembangan dibeberapa negara untuk mengadopsinya. Beberapa negara yang menganut asas ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda, Thailand. C. Perbedaan Sistem Peradilan Pidana Inggris dengan Sistem Pidana Indonesia a. Sekilas Sistem Peradilan Pidana Inggris Sampai akhir 1986, proses penuntutan bagi perkara-perkara ringan di Inggris dilakukan oleh Polisi sendiri Police Prosecutor. Sedangkan perkara yang agak berat dilakukan oleh pengacara yang disebut Solicitor. Dan perkara-perkara yang berat disidangkan di pengadilan tinggi tingkat banding dengan penuntut Umum pengacara yang disebut Barrister. Namun sejak 1986 yang menentukan apakah perkara yang disidik Polisi dapat diajukan ke pengadilan atau tidak adalah Jaksa yang tergabung dalam Crown Prosecution Secvice CPS. Dan di Inggris terdapat 31 kejaksaan atau CPS yang terdiri dari Crown Prosecutor, senior Crown Prosecutor, Assistant branch CPS, Branch prosecutor di Indonesia setingkat Kepala Kejaksaan Negeri, dan Chief Prosecutor setingkat Kepala Kejaksaan tinggi. Sumber hukum dalam sistem peradilan pidana di Inggris terdiri dari a Custom, merupakan sumber hukum tertua. Tumbuh dan berkembang dari kebiasaan suku Anglo Saxon pada abad pertengahan yang melahirkan Common Law. Sehingga sistem hukum Inggris disebut juga sistem anglo saxon. b Legislation/statute, berupa Undang-undang yang dibuat melalui parlemen. c Case law/judge made law, hukum kebiasaan yang berkembang di masyarakat melalui putusan hakim yang kemudian diikuti oleh hakim berikutnya melahirkan asas precedent. Dalam sistem Common Law seperti di Inggris, adat istiadat atau kebiasaan masyarakat custom yang dikembangkan berdasarkan putusan Pengadilan mempunyai kedudukan yang sangat kuat karena berlaku asas STARE DECISIS atau ASAS BINDING FORCE OF PRECEDENTS. Asas ini mewajibkan hakim untuk mengikuti putusan hakim yang ada sebelumnya. Bagian putusan hakim yang harus diikuti dan mengikat adalah bagian pertimbangan hukum yang disebut sebagai ratio decidendi sedangkan hal selebihnya yang disebut obiter dicta tidak mengikat. Dalam sistem peradilan Inggris benar salahnya terdakwa ditentukan oleh juri yang direkrut dari masyarakat biasa. Tugas hakim hanya memastikan persidangan berjalan sesuai prosedur dan menjatuhkan hukuman sesuai hukum. Oleh karena itu, tugas jaksa dan pengacara dalam persidangan adalah meyakinkan juri bahwa terdakwa bersalah atau tidak. Berbeda dengan sistem civil law yang dianut di Indonesia sebagai kelanjutan dari sistem hukum yang dianut Belanda, maka tugas hakim di pengadilan lebih berat karena selain harus menentukan benar salahnya terdakwa juga menetapkan hukuman vonisnya . Pada tahun 1994 telah terjadi pergeseran sistem akusator menjadi sistem inquisitor dalam hukum acara Pidana Inggris. Hal ini dilatarbelakangi karena Polisi di Inggris kesulitan untuk mengungkap atau menyelesaikan berbagai kasus yang menimbulkan ancaman serius bagi masyarakat terutama terorisme. Karena tersangka berlindung dibalik kekebalan hukum yang diberikan oleh UU antara lain hak untuk diam right to remain silent. Perubahan tersebut dilihat dari konteks keberadaan sistem hukum yang ada di dunia civil law dan common law ternyata saat ini bukan saatnya lagi memperdebatkan secara tajam perbedaan antara kedua sistem hukum tersebut. b. Sistem Peradilan Pidana Terpadu Di Indonesia Sistem peradilan pidana di Indonesia sebagaimana diatur dalam KUHAP Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau Undang-undang tahun 1981, sebenarnya identik dengan penegakan hukum pidana yang merupakan suatu sistem kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana ini sesuai ketentuan dalam KUHP dilaksanakan oleh 4 sub sistem yaitu 1. Kekuasaan Penyidikan oleh Lembaga Kepolisian. 2. Kekuasaan Penuntutan oleh Lembaga Penuntut Umum atau Kejaksaan. 3. Kekuasaan mengadili oleh Badan Peradilan atau Hakim. 4. Kekuasaan pelaksanaan hukuman oleh aparat pelaksana eksekusi jaksa dan lembaga pemasyarakatan. No Variabel Indonesia Inggris 1 Pengadilan superior dan Agung; of lords; inferior strata tingkatan tinggi; agung; pengadilan dari yang negeri. banding; paling tinggi tinggi; kerajaan; magistrate. Keempat subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah integrated criminal justice system atau sistem peradilan pidana terpadu. Menilik sistem peradilan pidana terpadu yang diatur dalam KUHAP maka keempat komponen penegakan hukum Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan seharusnya konsisten menjaga agar sistem berjalan secara terpadu. Dengan cara melaksanakan tugas dan wewenang masing-masing sebagaimana telah diberikan oleh Undang-undang. Karena dalam sistem Civil Law yang kita anut, Undangundang merupakan sumber hukum tertinggi. Karena disana dalam Hukum Acara Pidana telah diatur hak dan kewajiban masing-masing penegak hukum dalam subsistem peradilan tersangka/terdakwa. pidana terpadu maupun hak-hak dan kewajiban Perbedaan Pengadilan Indonesia dan Inggris No Variabel Indonesia 1 Pembagian pengadilan umum; koroner; berdasarkan yurisdiksi agama; militer; khusus Inggris tata usaha negara; ketenagakerjaan; militer imigrasi; 2 Pembagian daerah Terdapat pembagian hukum Tidak terdapat daerah hukum pembagian daerah berdasarkan hukum administrasi wilayah 3 Jumlah hakim yang Hakim majelis memeriksa perkara Umumnya menggunakan hakim tunggal 4 Sistem pembuktian Pembuktian Berdasarkan keyakinan berdasarkan undang- belaka conviction in undang secara negatif time BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari Uraian Pembahasan diatas maka dapat disimpulkan Bahwa Perbedaan yang sangat mencolok yang dapat dilihat antara Hukum pidana Indonesia dengan inggris yaitu dapat kita lihat melalui asas legalitas dari masing-masing dimana asas legalitas Negara inggris bersumber kepada yurisprudensi hakim, sedangkan di Indonesia bersumber pada undang-undang yang berlaku. Dan juga asas strict liability kedua Negara dimana di Negara inggris unsur kesalahan tidak dapat diberikan apa bila tidak ada pada dirinya, sedangkan di Indonesia unsur kesalahan sudah diberikan apabila telah terbukti melakukan suatu kesalahan. Dan yang terakhir dalam system peradilan pidana Indonesia identik dengan penegakan hukum pidana yang mempunyai kekuasaan dan kewenangnan dalam menegakan hukum pidana. Yang terdapat 4 subsistem yaitu, kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili dan kekuasaan pelaksanaan hukuman. Sedangkan dalam system peradilan pidana di inggris putusan pengadilan mempunyai kedudukan yang sangat kuat. Dan putusan hakim mengikat untuk hakim selanjutnya. B. Saran Dengan membandingkan hukum pidana Negara Indonesia dengan Inggris. Indonesia sebagai Negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan keadilan hukum, perlu meniru tata cara pengambilan putusan dalam penegakan hukum. DAFTAR PUSTAKA  Prof. Nawawi Arief, Barda, Perbandingan Hukum Pidana Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 2010  Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1988. Jakarta Balai Pustaka.  E. Y. Kanter, S. R. Sianturi, Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya Jakarta Alumni AHM-PTHM, 1982  Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Indonesia  Wikipedia bahasa indonesia, ensiklopedia bebas, Sistem Hukum di dunia, http//id.  
Padadasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi "principle of legality", "legaliteitbeginsel", "non-retroaktif", "de la legalite" atau "ex post facto laws".Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: "Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang Tulisan ini membahas mengenai perbandingan hukum pidana dalam tindak pidana terorismedari sudut pandang due process of law bagi pelaku tindak pidana terorisme, terdapatperbedaan yang signifikan terutama terkait sistem adversarial yang dianut sistem peradilanpidana australia dan inggris dibandingkan dengan sistem peradilan pidana di Indonesiadimana perlindungan hak asasi pelaku lebih diperhatikan sehingga sistem peradilan pidana diAustralia dan Inggris lebih kondusif untuk menciptakan due process of writings discuss about comparative criminal law in the criminal acts of terrorism fromthe standpoint of due process of law for criminal acts, perpetrators of terrorism, there aresignificant differences, particularly regarding the subscribed adversarial system of criminaljustice system compared to english australia and criminal justice system in Indonesia whereprotection of rights observed until the perpetrator more fundamental criminal justice systemin Australia and England are more conducive to creating due process of law. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Perbandingan Pengaturan Mengenai Terorisme di Indonesia, Inggris dan Australia Terkait Dengan Due Process Of Law Bagi Pelaku Oleh Nur Rois * nurrois Abstrak. Tulisan ini membahas mengenai perbandingan hukum pidana dalam tindak pidana terorisme dari sudut pandang due process of law bagi pelaku tindak pidana terorisme, terdapat perbedaan yang signifikan terutama terkait sistem adversarial yang dianut sistem peradilan pidana australia dan inggris dibandingkan dengan sistem peradilan pidana di Indonesia dimana perlindungan hak asasi pelaku lebih diperhatikan sehingga sistem peradilan pidana di Australia dan Inggris lebih kondusif untuk menciptakan due process of law. These writings discuss about comparative criminal law in the criminal acts of terrorism from the standpoint of due process of law for criminal acts, perpetrators of terrorism, there are significant differences, particularly regarding the subscribed adversarial system of criminal justice system compared to english australia and criminal justice system in Indonesia where protection of rights observed until the perpetrator more fundamental criminal justice system in Australia and England are more conducive to creating due process of law. Kata Kunci ; tindak pidana terorisme, terorisme, sistem peradilan pidana, adversarial, perbandingan hukum, due process of law Keyword ; criminal act of terrorism, terrorism, criminal justice system, adversarial, comparative law. I. Pengantar Tata dunia internasional world order kerap kali berubah ketika terjadi suatu defining moment yang dramatis. Berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, misalnya, segera diikuti dengan dimulainya era Perang Dingin. Ketika Tembok Berlin runtuh pada tahun 1989, masyarakat internasional melihatnya sebagai awal dari lahirnya era Pasca Perang Dingin. Runtuhnya gedung World Trade Centre WTC di New York tanggal 11 September lalu akibat serangan teroris kini dilihat banyak pihak sebagai defining moment yang mengakhiri era Pasca Perang Dingin. Memang, tragedi 11 Septembermembawa implikasi fundamental * Penulis adalah Dosen PNSDpk di Universitas Baturaja Tragedi 11 September adalah peristiwa dimana 19 pembajak pesawat membajak 4 penerbangan sipil Amerika Serikat, 2 Pesawat ditabrakkan pada menara kembar World Trade Center New York, 1 pesawat ditabrakkan di gedung Pentagon dan 1 lagi peswat menjatuhkan dirinya di Shanksville terhadap situasi dan percaturan politik internasional. Bagi Amerika Serikat AS sendiri, peristiwa tersebut merupakan pukulan telak bagi supremasi adidaya, yang menuntut respon dalam bentuk “perang terhadap Bagi negara-negara lainya, selain menyadarkan mereka bahwa ancaman serius terhadap kemanusiaan dapat mengambil bentuk yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, tragedi WTC dan respon AS terhadap terorisme merupakan awal dari terbangunnya sebuah tatanan politik dunia yang ditandai oleh meningkatnya ancaman non-tradisional khususnya dalam bentuk terorisme dan hegemonisme AS sebagai adidaya Negara-negara lain perang terhadap terorisme yang dikomandoi Amerika telah membagi kedalam dua blok baru pasca perang dingin yaitu kawan atau lawan terorisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat, PBB sebagai lembaga pemersatu bangsa di dunia melalui United Nation Terrorism Prevention Branch telah melakukan studi mendalam dan merekomendasikan langkah-langkah penanggulangan secara komprehensif sebagai berikut; Aspek politik dan pemerintahan politic and government, Aspek ekonomi dan social economic and social , aspek psikologi, aspek komunikasi, pendidikan Psychology-communication, education, peradilan dan hukum judicial and law , aspek kepolisian dan system pemasyarakatan police and prison system , aspek intelijen intelligence, aspek militer military, aspek imigrasi immigration.Bagi Indonesia , sejak tahun 2002 tidak pernah sepi dari ancaman terror setiap tahunnya, bahkan menurut data intelijen Jam’ah Islmaiah JI dan organisasi teroris lain di Asia Tenggara masih aktif dan berbahaya, serangkaian bom terjadi di Indonesia pasca bom Pennsylvania, setidaknya ada kurang lebih 3000 korban jiwa dalam tragedi tersebut. Lihat diakses pada 03 Mei 2012 Rizal Sukma, “Keamanan Internasional Pasca 11 September Terorisme, Hegemoni AS, dan Implikasi Regional”, Makalah Pada Seminar Hukum Nasional, VIII Denpasar 14-18 Juli 2003, Denpasar, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2003, Syahdatul Kahfi Editor, Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, Jakarta, Spectrum, 2006 Bali 2002, walaupun aktor utama pemboman di Indonesia Dr Azhari dan Nurdin M Top sudah ditembak mati tetapi tampaknya ancaman terorisme di Indonesia tidak Overview a. Definisi Terorisme Definisi terorisme sendiri saat ini masih menjadi perdebatan meskipun sudah banyak ahli yang medefinisikannya, dan dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Secara umum kata “teroris” pelaku dan terorisme aksi berasal dari kata latin “terrere” yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan , tentu saja kengerian di hati dan pikiran “Terorisme” menurut Budi Hardimanpada 1970-an dikenakan pada fenomena dari bom yang meletus di tempat-tempat publik sampai dengan kemiskinan dan kelaparan. Beberapa pemerintah menstigma musuh-musuhnya sebagai “teroris” sebuah istilah yang mudah dipolitisasi, terorisme merupakan fenomena dalam masyarakat demokratis atau masyarakat yang menuju transisi kesana. Didalam negara totaliter terorisme cenderung dilakukan oleh negara. Sejak 11 September 2001 terorisme menemukan bentuk barunya dalam memobilisasi konflik global dalam mengisi kekosongan pasca perang dingin yang mengerucut dalam opini politis “kawan” atau “lawan” dalam skala global perang terhadap terorisme. Dalam pasal 6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003, disebutkan mengenai unsur-unsur tindak pidana terorisme sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis dengan maksud menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara yang dilakukan Abdul Wahid.,dkk, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum Bandung, Refika Aditama, 2004, hal. 22 Budi Hardiman , “Terorisme Paradigma dan Definisi” dalam Rusdi Marpaung dan Al Araf, Terorisme Aksi dan Regulasi Jakarta, Imparsial, 2003 dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas terorisme menurut pemerintah Inggris sebagaimana dikutip oleh Craig T Cobaen dalam desertasinya adalah;“the use of violence for political ends, and included any use of violence for the purpose of putting the public or any section of the public in Hampir sama dengan pendapatnya, Austin T Turk seorang sosiologis dari University Of California mengatakan hubungan terorisme dengan politik sebagai berikut;“Terrorist acts are political, rarely in volving psychopathology or material deprivation. Indeed, the evidence is mounting that terrorism is associated with relative affluence and social advantage rather than poverty, lack of education, or other indicators of Jenny Hocking juga sependapat bahwa terorisme adalah sebagai aksi politis, “terrorism as a label simplifies the complex moral and political questions raised by any political Abdul Wahid. Dkk , Opcit Lihat Juga Undang-Undang No 1Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 6 Craig T Cobaen, Terrorism and Democracy The Balance Between Freedom and Order; British Experience, Desertasi pada University of Cincinnati University of Cincinnati, Cincinnati 2003 Austin T Turk, “Sosiology of Terrorism”, artikel dalam Annual Review Of Sosiology 2004 , JSTOR , . diakses pada 25 Mei 2012 b. Definisi Due Process Of Law Dalam pelaksanaan peradilan pidana maka ada istilah yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana tersebut yakni “Due Process Of Law”, yang dalam bahasa Indonesia dapat kita terjemahkan sebagai “ proses hukum yang adil atau layak” lawan dari proses ini adalah “arbitrary process” atau “proses yang sewenang-wenang atau didasarkan pada kuasa penegak hukum “. Secara keliru penerapan proses hukum yang adil hanya bersandar pada peraturan hukum pidana saja, sehingga arti dari “Due Process Of Law” hanya sebatas penerapan hukum atau penerapan perundang-undangan secara formil saja. Seharusnya pemahaman tentang proses hukum yang adil mengandung juga sikap batin, penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat, meskipun ia menjadi pelaku kenyataannya due process of law banyak tidak berlaku bagi orang-orang yang diduga terlibat dalam kasus terorisme , dari data Indonesian Police Watch setidaknya selama periode januari 2011 – maret 2012 ada sekitar 21 orang tersangka terorisme telah ditembak mati tanpa proses peradilan terlebih dahulu dalam proses penggerebekan polisi. Sebagaimana diungkapkan oleh Todung Mulya Lubis dalam desertasinya memang permasalahan keseimbangan para pihak merupakan hal yang sulit diwujudkan dalam realita,adalah tidak mungkin bagi terdakwa untuk memiliki peluang penuh dan seimbang dalam proses peradilan, jaksa penuntut umum biasanya memiliki akses yang lebih besar terhadap barang bukti dan saksi dibanding pengacara/terdakwa. Jenny Hocking, Terrorism and Counter-Terrorism; Instituanising Political Order , artikel dalam The Australian Quartley, Vol. 58 , JSTOR, diakses pada 08 Mei 2012 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana; Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum,2007 hlm. 8 Rakyat Merdeka Online, 21 Teroris Tewas Terkena Timah Panas Densus 88, diakses pada 03 Mei 2012 Todung Mulya Lubis, “In Search Of Human Rights Legal-Political Dillemas Of Indonesia’s New Order, 1966-1990” dalam Satya Arinanto, Politik Hukum 2, Jakarta, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hal. 197 c. Alasan Pemilihan Inggris dan Australia. Secara historis Inggris dalam memerangi terorisme memiliki pengalaman yang panjang sejak perlawanan Irish Republican Brotherhood and Young Ireland sebagai cikal bakal Irish Republican Army yang pecah pada tahun 1761. Inggris sendiri memiliki peraturan khusus tentang terorisme dari tahun 1974. Sedangkan Australia sendiri memiliki aturan mengenai terrorisme mulai tahun 1995. Secara teritorial Australia termasuk istimewa berada di dekat daratan Indonesia , dan Asia, Australia memiliki sistem hukum yang khas disatu sisi masuk dalam keluarga commonlaw tetapi disisi lain Australia melakukan kodifikasi terhadap peraturan perundang-undangannya terutama terkait dengan Criminal Code Act 1995. Dilihat dari keluarga hukumnya Inggris dan Australia termasuk dalam keluarga commonlaw mengingat tradisi due process of law sendiri diawali dari keluarga hukum commonlaw tercantum dalam Magna Charta dan tercantum dalam Hobeas Corpus Act 1679. d. Metodologi Perbandingan Hukum Perbandingan hukum memiliki arti penting dalam ‘perbaikan dan perluasan terus-menerus terhadap pengetahuan hukum kita” demikian yang dikatakan oleh Yntema sebagaimana dikutip oleh Peter De Peter De Cruz dalam bukunya Perbandingan Sistem Hukum terdapat beberapa Konsep Kunci dalam Metode Hukum Komparatif yaitu;A. Keluarga Hukum Induk dan Tradisi Hukum Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Socialist Law Bandung, Nusa Media, 2010 Peter De Cruz, Ibid, Pemikiran mengenai keluarga hukum telah digunakan sebagai unsur utama yang bersifat organisasional bagi analisis terhadap sistem hukum di dunia. Ketika kita merujuk pada Negara-negara civil law berarti kita merujuk terutama pada Negara yang mewarisi tradisi Romawi-Jerman yang memiliki gaya yuristik tersendiri. Seperti kita ketahui tradisi hukum bukanlah serangkaian peraturan di dalam yuridiksi tertentu , tetapi merupakan sikap yang terkondisi secara historis terhadap peran hukum dalam masyarakat tertentu, karakteristik mode pemikiran hukumnya dan sumber-sumber hukumnya serta ideologi dasarnya. Tradisi hukum Perancis didasarkan pada pemisahan yang tegas antara hukum privat dan pidana disatu sisi, serta hukum ‘ publik’ dan administrasi disisi lain; pada kenyataannya keduanya membentuk dua sistem hukum yang terpisah. Indonesia bisa dikategorikan sebagai keluarga hukum civil law, mengingat hukum yang digunakan sebagian besar merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda. KUHP yang digunakan Indonesia merupakan Wvs KUHP Belanda yang merupakan warisan dari Code Penal Perancis, sedangkan KUHPerdata Indonesia berasal dari BW Belanda yang juga merupakan warisan dari Code Civil Perancis. Tradisi common law Inggris memiliki pendekatan yang berbasiskan kasus, yang dibentuk berdasarkan keputusan-keputusan yudisial dan preseden doktrin yudisial stare decisis .Demikian halnya dengan Australia menganut sistem yang sama. Terkait dengan interprestasi undang-undang dalam awal sejarah common law, sering kali hakim-hakim diingatkan oleh seniornya bahwa mereka hanya sebatas menginterprestasikan undang-undang sehingga hal tersebut mirip dengan yang terjadi pada sistem civil law dalam memberikan preseden. Peter De Cruz, Terkait dengan sistem hukum Lawrence M Friedman mengatakan bahwa fungsi dari sistem hukum adalah bagian dari kontrol sosial, dalam arti yang paling luas sistem kontrol sosial ini merupakan fungsi dari sistem hukum; sistem yang lainya kurang lebih menjadi sekunder atau dibawahnya , ibarat polisi lalu lintas sistem hukum memerintahkan orang apa yang harus dilakukan dan jangan dilakukan dengan Sumber-sumber hukum Sumber-sumber hukum formal adalah legislasi, undang-undang , keputusan yudisial adat-istiadat, doktrin atau tulisan akademis serta equity keadilan etis. Setiap sistem hukum memiliki sumber-sumbernya sendiri yang memiliki struktur heirakhi tertentu. Sehingga sumber hukum utama pada civil law adalah undang-undang yang berlaku, adat-istiadat yang dituliskan, dan perkara-perkara yang diputuskan , tidak ada tradisi stare decisis dalam civil law sementara hal tersebut merupakan sumber hukum pokok dalam common law. Bagi Indonesia produk legislasi adalah sumber hukum utamanya , lain halnya dengan Inggris dimana tradisi commonlaw berasal, stare decisis adalah tulang punggung hukumnya, yang menarik adalah Australia meskipun termasuk dalam kategori negara commonlaw tetapi Australia juga mencoba untuk terus melakukan kodifikasi terhadap undang-undangnya , termasuk undang-undang terorisme mereka masukkan dalam amandemen Criminal Code Act C. Metode Hukum Komparatif. Mengenai metode dalam komparasi hukum , Peter De Cruz merujuk pada pendapat Zweigert dan Kotz 1977 terkait dengan kriteria yang digunakan untuk mengklasifikasikan sistem hukum , yang menurut mereka dapat dipastikan melalui ; a Latar Belakang Historis dan perkembangannya dari sistem tersebut; b Karakteristik tipikal model pemikirannya; c Institusi-institusi yang berbeda Lawrence M Friedman , American Law An Introduction 2nd Edition, Jakarta, Tatanusa, 2001 d Macam sumber hukum yang diakuinya dan perlakuan terhadap semua ini e Ideologinya. III. Analisis Perbandingan Pengaturan Terorisme di Indonesia, Inggris dan Australia. A. Pengaturan Terorisme di Indonesia Sejak peristiwa 11 September 2001 perhatian dunia tertuju pada salah satu bentuk kejahatan yaitu Terorisme dan khusus di Indonesia kita pun ikut fokus terhadap kejahatan tersebut setelah terjadinya peristiwa Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 , di Legian Bali kejahatan tersebut layak digolongkan sebagai kejahatan besar terkait dengan aksi terorisme di waktu yang relatif sangat cepat sejak peristiwa bom bali pada 12 Oktober 2002 Pemerintah Indonesia hanya dalam kurun waktu 6 hari 18 Oktober 2002 telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terkait dengan Terorisme secara umum dan Terorisme pada kasus Bom Bali. Jadi secara umum Indonesia memiliki dua peraturan perundangan khusus mengenai terorisme yaitu ; Pertama, Perpepu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; dan Kedua, Perpepu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perperpu No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada peristiwa peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002. Namun sejak 23 Juli 2004 lewat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 03 / PUU-I/2004 membatalkan Perpu Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Perpepu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk kasus Bom Bali sebagaimana telah diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Pemberlakuan Abdul Wahid, dkk, Suara Merdeka, “Bola Panas Itu Ada di Perpu Terorisme”, Sabtu, 26 Oktober 2002. Perpepu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk kasus Bom Bali Sebagai Undang-Undang, dinyatakan tidak mengikatdan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 oleh putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Sehingga secara khusus di Indonesia saat ini hanya memiliki satu peraturan khusus mengenai terorisme yaitu Perpepu Nomor. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah dijadikan Undang-Undang lewat Undang-Undang No 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Selanjutnya disebut Undang-Undang Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Untuk permasalahan teknis dalam proses peradilan pidananya masih banyak mengacu pada peraturan yang tercantum dalam KUHAP Indonesia. B. Pengaturan Terorisme di Inggris Sejarah mengenai peraturan terkait dengan terorisme di Inggris diawali dengan The Prevention Of Terorism Temporary Provision Act, 1974 sebagai respon terhadap pemboman yang dilakukan pada 21 November 1974 dimana 21 orang meninggal dan 184 orang terluka dikenal dengan Brimingham Bombing. Oleh pasal 12 Ayat 1 The Prevention Of Terorism Temporary Provision Act, 1974 bahwa undang-undang Act tersebut habis masa berlakunya pada 28 mei 1975 kecuali memang dinyatakan berlaku oleh kekuasaan perundang-undangan, akan tetapi terjadi lagi peledakan bom pada Februari 1975 sehingga memaksa parlemen Inggris untuk memperpanjang kembali Undang-Undang tersebut untuk enam bulan berikutnya sambil menunggu diterbitkannya undang-undang Putusan Mahkamah Konstitusi , Amar Putusan Diktum ke-2 Ibid, Amar Putusan Diktum ke-2 Beradasarkan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Tehnik Penyusunan Perundang-Undangan Dan Bentuk Rancangan Undang-undangan, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden, Lampiran I bagian Nomor 165 penyebutan perpu yang telah dijadikan undang-undang adalah dengan menyisipkan prp pada tahun perpepu tersebut Clive Walker, The Prevention Of Terrorism In British Law, Manchester, Manchester University Press, 1986 The Prevention Of Terorism Temporary Provision Act, 1974 terus diperbaharui sampai tahun 1989 tetapi tetap sebagai Undang-Undang sementara . Pada tahun 2000 Parlemen menyetujui The Terorism Act 2000 , selanjutnya sebagai respon dari London Bombing maka parlemen mengesahkan The Terorism Act 2006 pada 30 Maret 2006, dan Undang-Undang tersebut masih berlaku sampai sekarang. C. Pengaturan Terorisme di Australia Sejarah pengaturan mengenai Terorisme di Australia sudah ada dalam Criminal Code 1995 Schedule 1 pada Bagian Terorisme Ayat 100-103, Bagian dalam Criminal Code Australia ini secara berkala telah diamandemen beberapa kali oleh beberapa peraturan perundang-undangan Act yakni; the Anti-Terrorism Act 2004 Cth, the Anti-Terrorism Act 2005 Cth dan the Anti-Terrorism Act 2005 Cth , kemudian pada bagian yang memuat tentang penghasutan untuk melakukan tindak pidana didalamnya termasuk juga penghasutan untuk melakukan aksi terorisme. Sebagaimana peraturan-peraturan tentang terorisme di beberapa negara termasuk Indonesia dan Inggris yang dilatar belakangi oleh tragedi 11 September 2001, demikian juga halnya dengan pengaturan mengenai terorisme di Australia, setidaknya telah ada 40 peraturan mengenai terorisme sejak terjadinya peristiwa 11 September 2001 sampai tahun 2012 .Pengaturan terbaru mengenai terorisme di Australia dapat ditemukan dalam the Anti-Terrorism Act 2005 Cth, yang sebenaranya merupakan amandemen dari Criminal Code 1995 dan beberapa peraturan Act yang sudah ada sebelumnya. Clive Walker, Ibid hal, 24 Liberty, “Terorism Bill Rushed” , diakses pada 15 Mei 2012 Australian Human Rights Commission, A Human Rights To Guide Australia’s Counter Terrorism Law’s, Sydney, HREOC, 2008, Australian Human Rights Commission, Ibid D. Perbandingan Pengaturan Terorisme di Ketiga Negara Indonesia, Inggris, dan Australia Terkait dengan Due Process of Law Terhadap Pelaku Apabila kita cermati terkait dengan due process of law terhadap pelaku terorisme di ketiga negara Indonesia, Inggris dan Australia , untuk pembahasannya hanya kami batasi pada isu-isu sentral yang terkait dengannya yaitu ; a. Penangkapan b. Peranan intelijen c. Hukuman mati d. Proses peradilannya terkait dengan bantuan hukum bagi pelaku terorisme a. Penangkapan Di Indonesia seseorang yang diduga terlibat dalam kejahatan terorisme dapat dilakukan penangkapan jika ada bukti permulaan yang cukup dengan periode paling lama adalah 1 hari, khusus untuk bukti permulaan berdasarkan laporan Intelijen maka dapat dilakukan penangkapan selama 7 x 24 Jam 7 hari, sebelumnya harus ada penetapan dari pengadilan mengenai bukti intelijen tersebut dimana pemeriksaannya dilakukan secara tertutup oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri. Mengenai kewenangan penyidikan yang terkait dengan proses penangkapan orang yang diduga terlibat dalam terorisme tidak diatur secara khusus siapa yang berwenang sehingga tetap merujuk pada peraturan dalam KUHAP Indonesia yaitu penyidik adalah Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor. 76 , Pasal 19 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 102, P asal 28 pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan Inggris terkait dengan penangkapan , masih merujuk pada perundangan lama yaitu Terorism Act 2000 c11 diatur bahwa maximum penangkapan terhadap seseorang yang diduga terlibat dalam tindak pidana terorisme adalah 48 Jam terhitung sejak dia ditangkap, Jika hakim Magistrat merasa perlu maka dapat diperpanjang lagi menjadi 7 hari, dan dapat diperpanjang menjadi 3 bulan 90 hari. Dikarenakan banyaknya protes terhadap masa 90 hari penangkapan maka oleh Terorrism Act 2006 c1 diamandemen menjadi maksimal 28 hari seseorang dapat ditangkap tanpa tuduhan charge setelah masa perpanjangan 7 hari pertama sebagai bagian dari investigasi aturan ini berlaku mulai 13 April prakteknya polisi tidak pernah melakukan penangkapan lebih dari 14 hari tanpa kejelasan lebih lanjut mengenai status dari orang yang diduga terlibat dalam kejahatan terorisme. Praktek terlama dalam penangkapan dilakukan terhadap Shamin Mohammed Uddin yang dituduh terlibat dalam aksi terorisme yang dikenal dengan “ 2006 translantic aircraft Uddin diadili dengan dakwaan terlibat sebagai kaki tangan teroris. Di Australia penanganan terhadap seseorang yang diduga terlibat dalam kejahatan terorisme hanya bisa dilakukan oleh AFP Australia Federal Police dan ASIO Australia Security Intelligence Organisation , penangkapan oleh AFP jangka waktu maksimalnya adalah 48 Jam dan dapat dilanjutkan menurut hukum negara bagian selama 14 hari, mereka Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor. 76 , Pasal 1 butir 1 The Terrorism Act 2000 Pasal 25 Ayat 4 The Terrorism Act 2006 Commencement 1 Pasal 23 Ayat 4 The Terrorism Act 2000 Pasal 26 Ayat 2b The Terrorism Act 2006 Commencement 1, The Terrorism Act 2006 Commencement 1, explanatory note BBC News, “Man Friend with Bomb Plotter”, diakses pada 23 Mei 2005. Criminal Code Act 1995 Pasal Ayat 2 harus meminta ijin pada ‘issuing authority’ yang berwenang yang menerbitkannya. ‘Issuing authority’ bukan pengadilan tetapi seorang hakim senior yang masih bertugas atau sudah pensiun, federal magistrate, atau anggota senior dari sebuah tribunal yang telah diangkat oleh pemerintah penangkapan oleh AFP di Australia lembaga intelijen juga berhak melakukan penangkapan berdasarkan Australia Security Intelligence Organisation Act 1979 mengatur bahwa dibawah wewenang khusus ASIO tidak boleh dilakukan penangkapan lebih dari 168 jam. Setelah dilakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga terlibat dalam kejahatan terorisme maka orang tersebut harus segera dihadapkan kepada “prescribed authority” untuk dijelaskan mengenai penangkapan tersebut. Yang dimaksud dengan “prescribed authority” adalah orang yang mengabdi sebagai hakim pada satu atau lebih superior court untuk jangka waktu minimal 5 tahun tetapi tidak sedang menjabat sebagai komisi dalam superior court, atau jika tidak cukup orang dengan kualifikasi tersebut maka Minister dapat menunjuk seseorang yang telah mengabdi sebagai hakim pada Suprame Courts atau District Court atau yang setara dengan masa kerja minimal 5 tahun untuk menjadi “prescribed authority”, jika masih kurang cukup orang dengan kualifikasi yang disebutkan sebelumnya maka Minister dapat menunjuk orang yang menduduki posisi sebagai Presiden atau Wakil Presiden dalam administratif tribunal yang terdaftar minimal 5 tahun pada Suprame Court dari negara bagian atau teritorial yang yang patut dicermati menurut penulis dari aturan mengenai penangkapan di ketiga negara bahwa adanya justifikasi terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia terkait dengan aturan penangkapan secara internasional, dan aturan internasional hanya memberikan Ibid, Pasal Ayat 1 Australia Security Intelligence Organisation Act 1979, Bagian III Pasal 34s Ibid , Pasal 34B Ayat 1 Ibid , Pasal 34B Ayat 2 Ibid , Pasal 34B Ayat 3 waktu paling lama 48 empat puluh delapan jam seseorang yang ditangkap harus segera di hadapkan kemuka hakim, malahan dalam ICCPR International Covenant on Civil and Political Rights seseorang harus “segera” dihadapkan kepada hakim setelah dilakukan penangkapan. Bahwasanya setelah batas waktu yang ditentukan maka orang tersebut harus dijelaskan mengenai status dirinya apakah hanya dimintai keterangan saja sebagai saksi misalnya atau telah menjadi tersangka. b. Peranan intelijen Di Indonesia peranan intelijen dalam penegakan tindak pidana terorisme dapat dilihat dalam kaitannya dengan bukti permulaan berupa “laporan intelijen” hanya saja di Indonesia tidak dijelaskan secara rinci lembaga mana yang berwenang terkait dengan “laporan intelijen” tersebut. Dalam perundang-undangan yang ada disebutkan bahwa “laporan intelijen” adalah laporan yang berkaitan dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional. Laporan intelijen dapat diperoleh dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri , Departemen Pertahanan, Departemen Kehakiman dan HAM, Tentara Nasional Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara, atau instansi lain yang Inggris Fungsi intelijen terkait dengan kejahatan terorisme diatur dalam Intelligence Services Act 1994, bahwa salah satu fungsi intelijen adalah melakukan langkah-langkah preventif termasuk penangkapan dan penahanan terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan serius serious crime , maupun yang terkait dengan keamanan nasional Robert R. Strang, “More Adversarial, but not Completely Adversarial Reformasi of the Indonesian Criminal Procedure Code” Fordham Journal International Law Volume 32, hal. 222-223 lihat juga pasal 9 International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR Undang-Undang Nomor 1 Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 102, P enjelasan Pasal 26 Ayat 1 Mengenai batasan waktu Intelligence Services Act tidak menyebutkan secara jelas sehingga bisa diasumsikan selama diperlukan. Beberapa kasus yang terjadi di Inggris akibat keterlibatan intelijen menyebabkan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berupa penyiksaan torture, maupun penahanan tanpa peradilan, misalnya kasus Binyan Muhammed yang selama 7 tahun di penjara di Guantanamo tanpa peradilan terlebih dahulu , keterlibatan agen M15 dinas rahasia Inggris dibantah hanya sekedar melakukan interograsi saja, sementara persidangan tuntutan dari Biyan Muhammed sendiri tidak bisa diungkapkan karena termasuk dalam kategori rahasia menyangkut keamanan beradasarkan laporan dari PBB diduga pemerintah Inggris telah melakukan penyiksaan terhadap warganya sendiri terkait dengan “perang melawan terror”.Hal yang berbeda ditemukan di Australia , dimana peranan dalam penanganan kejahatan terorisme dari lembaga intelijen pengaturannya sangat jelas dalam Australia Security Intelligence Organisation Act 1979 Division 3—Special powers relating to terrorism offences , dan dalam the Anti-Terrorism Act 2005 Cth Schedule 10 tentang ASIO Power . ASIO diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan interograsi dan penahanan terhadap orang yang diduga terlibat kejahatan terorisme, tetapi bukan penangkapan , setelah dinyatakan terlibat tersangka maka penahanannya dialihkan ke polisi AFP. Beberapa hak warga negara misalnya hak untuk tetap diam right to remain silence Intelligence Services Act 1994 Pasal 1 ayat 2a Dailymail, Britain Dirty Torture Secret To Be Laid Bare Huge Payout For Victim as PM Order Inquiry Into Secret Services, diakses pada 24 Mei 2012 Open Society Foundation, British Debates Over National Security And Public Right To Know, The Guardian, British Complicit in Mainstream and Posible Torture says UN” diakses pada 22 Mei 2012 dihilangkan dengan kewenangan yang diberikan kepada ASIO, sehingga jika seseorang tidak menjawab pertanyaan dari agen ASIO maka dia bisa dikenakan pidana maksimal 5 tahun. Begitu juga jika seseorang ditangkap oleh ASIO maka dia tidak diperkenankan memberitahukan kepada siapapun kecuali pada pengacara dan hakim tribunal , atau Ombudsman terkait dengan keberatan terhadap perintah penangkapan/penahanan oleh ASIO, dia boleh menceritakan kembali perihal tersebut kepada umum setelah 2 ketiga negara tersebut menurut hemat penulis tampaknya hanya Australia yang memperhatikan adanya kemungkinan terburuk terhadap keterlibatan aparat intelijen, mereka mencoba memberikan payung hukum bagi warga negaranya dan aparat intelijennya sehingga proses penanganan terhadap kejahatan terorisme tetap dalam koridor hukum yang ada. c. Hukuman mati Indonesia termasuk dalam Negara yang masih mempraktekkan pidana mati , dalam Undang-Undang Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memuat tentang ancaman pidana mati yang dapat ditemukan dalam pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 14. Sementara untuk pelaku yang berusia dibawah 18 Tahun tidak diancam dengan Hukuman Mati berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang tersebut. Law Foundation, UU Anti Terorisme, ASIO, Polisi dan Anda – Edisi dalam Bahasa Indonesia, diakses pada 24 mei 2012 Terkait dengan pidana mati juga perlu mendapat perhatian terkait dengan pelaku terorisme setidaknya sampai tahun 2008 Kontras mencatat ada 7 orang terdakwa kasus terorisme yang dijatuhi pidana mati, 3 orang diantaranya telah di eksekusi. Berbeda dengan Indonesia yang masih menerapkan pidana mati, Inggris sejak 1964 sudah tidak lagi mempraktekkan pidana mati, dan dengan ikutnya Inggris ke dalam protokol ke 13 Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa menjadikan hukuman mati terlarang di Inggris selama negara tersebut masih terikat kedalam konvensi secara otomatis bagi pelaku terorisme di Inggris tidak akan menghadapi pidana mati, akan tetapi hanya akan menghadapi maximum sentence sesuai yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan maupun dalam yurisprudensi yang ada. Sama halnya dengan Inggris, Australia juga telah menghentikan praktek pidana mati sejak 1967, pengadilan federal Australia secara resmi pada tahun 2010 melarang penerapan pidana mati pada seluruh wilayah teritorial Australia. Australia juga pada 11 Juli 1991 telah meratifikasi Protokol ke-2 dari Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dimana protokol ke-2 berisi mengenai larangan untuk menerapkan pidana mati bagi negara yang telah terikat protokol dalam konvenan dengan masalah hukuman mati ini menurut hemat penulis beban psikologis bagi terdakwa sangat besar sehingga dia akan berusaha bagaimanapun caranya untuk mengindar dari hukuman mati tersebut misalnya ; berbohong , dalam proses hukum yang Kontras, Data Narapidana dengan Vonis Mati, diakses pada 03 Mei 2012 Hoffman David & Rowe John , Human Rights in the UK An Introduction to the Human Rights Act of 1998 3 ed., London, Pearson Longman, 2010, hal. 148 Michael Walton , “The Death Penalty in Australia and Overseas”, NSW Council for Civil Liberty, Background Papper, 2005 hal. 10 lihat juga NSWCCL, “Australia Policy on Death Penalty”, diakses pada 20 Mei 2012, lihat juga , The Age, “Death Penalty Dead and Buried”, diakses pada 20 Mei 2012 adil due process of law beban psikologis tersebut membuat terdakwa dalam posisi yang tidak seimbang. Di Indonesia sendiri banyak kalangan yang menentang pidana mati, Prof. Roeslan Saleh pernah membicarakan mengenai pidana mati ini, beliau mempermasalahkan pidana mati karena pidana mati tidak dapat ditarik kembali jika kemudian hari terdapat Seno Adjie mengatakan bahwa sebenarnya hukuman mati tidak akan menjadi masalah bila dilaksanakan segera setelah putusan yang berkekuatan hukum tetap ada, masalahnya di Indonesia setelah terpidana menjalani pidana selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun hukuman mati baru Sidharta dalam Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay berpendapat bahwa dilihat dari sisi sejarah hukuman mati dipandang tidak relevan lagi dan hukuman mati menyebabkan demoralisasi di dalam masyarakat untuk lebih jelasnya beliau merujuk pada Deklarasi Stockholm desember 1977 yang antara lain mengemukakan ; a. Hukuman mati sering digunakan sebagai alat penindasan rasial, etnis, golongan, agama, anggota oposisi politik dan golongan minoritas; b. eksekusi hukuman mati adalah suatu tindakan kekerasan dan kekerasan cenderung memancing kekerasan dan kekerasan cenderung memancing kekerasan lain; c. Hukuman mati tidak terbukti memiliki daya penangkal deteransi yang khusus; d. Eksekusi hukuman mati bersifat irevokabel. d. Proses Peradilannya Terkait Dengan Bantuan Hukum Bagi Pelaku Terorisme Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia,Jakarta, Aksara Baru, 1978 Indriyanto Seno Adji, Humanisme Dan Pembaruan Penegakan Hukum Jakarta, Kompas, 2009 hlm. 263 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta, Kompas, 2009 hal. 242-243 Terkait erat dengan proses peradilan terhadap pelaku tindak pidana terorisme , perlu dipahami terlebih dahulu bahwa antara Indonesia, Inggris dan Australia terdapat perbedaan yang sangat mencolok terutama dipengaruhi oleh sistem peradilan pidana yang dianut oleh ketiga negara tersebut. Indonesia menganut sistem peradilan Inquisitorial sedangkan Australia dan Inggris menganut sistem Adversarial. Sistem adversarial adalah suatu sistem peradilan dimana dua belah pihak saling berlawanan secara berimbang, saling mempresentasikan fakta-faktanya dimana sekelompok orang atau seseorang biasanya jury atau hakim akan menentukan kebenaran dari kasus tersebut, biasa diterapkan pada negara dengan sistem hukum common law. Lawan dari sistem ini adalah Inquisitorial dimana hakim atau sekelompok hakim menentukan/ menyelidiki kebenaran suatu kasus , sistem ini biasa diterapkan di negara-negara civil law dan telah ada lebih dari 700 peradilan Hukum Acara Pidana di Indonesia diatur dalam Undang-undang no. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana , sehingga pemeriksaan dalam persidangan pelaku terorisme tidak berbeda dengan tindak pidana yang lainnya. Apabila ancaman pidana dari Tindak Pidana Terorisme lebih dari 15 tahun dan bahkan maksimalnya adalah pidana mati maka sesuai KUHAP maka terdakwa wajib didampingi oleh penasihat hukum. Bagi yang tidak mampu bantuan hukum tersebut diadakan secara untuk yang menghadapi ancaman pidana kurang dari 15 tahun tidak diatur kewajiban didampingi oleh penasihat hukum. Untuk persidangan perkara terorisme di Indonesia dilakukan secara terbuka untuk umum Inggris tidak memiliki sistem pengadilan tunggal , Inggris dan Wales memiliki satu sistem pengadilan, Skotlandia dan Irlandia Utara juga memiliki sistem pengadilan yang berbeda, terkait dengan penanganan terorisme model pengadilannya sama dengan tindak pidana lainnya ada. Sandra Beatriz Hale, The Discourse of Court Interpreting Discourse Practices of the Law, the Witness and the Interpreter, Amsterdam, John Benjamin BV, 2004 hal. 31 Harry R Dammer dan Jay S Albanese, Comparative Criminal Justices System, Belmont, Wadworths Cengage Learning, 2011 hal. 199 Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor. 76 , Pasal 56 Ayat 1 Terkait dengan bantuan hukum di Inggris diwajibkan adanya bantuan hukum dalam perkara pidana, peraturan terbaru mengenai bantuan hukum dapat ditemukan dalam Legal Aid, Sentencing and Punishment of Offenders Act 2012 dan Legal Aid and Advice 1949. Di Inggris seseorang wajib didampingi oleh pengacara sesaat setelah dalam masa tidak mampu maka disediakan secara cuma-cuma oleh negara, adapun sumber dananya diambil dari para pembayar pajak yang dibebankan sebesar £2 per tahun, Australia juga memiliki peraturan mengenai bantuan hukum, Australia sebagai negara federal memiliki dua yuridiksi yaitu negara federal dan negara bagian, masing-masing bertanggung jawab dalam menyediakan bantuan hukum sesuai dengan hukumnya masing-masing. Mengenai bantuan hukum baik negara federal atau bagian biasanya di jalankan oleh sebuah komisi yaitu State and Territory Legal Aid Commissions, dibawah peraturan hukum Commonwealth Legal Aid Commission Act 1977 LAC Act terkait dengan terorisme pendampingan oleh pengacara dilakukan sejak penangkapan oleh AFP maupun pada saat interogasi yang dilakukan oleh ASIO. Jika tersangka tidak mampu maka lewat State and Territory Legal Aid bantuan hukum diberikan secara cuma-cuma. Kehadiran bantuan hukum menurut penulis merupakan syarat mutlak adanya fair trail sebagai sendi dari due process of law . IV. Penutup Pengaturan Terorisme terkait dengan due process of law terhadap pelaku terorisme di Indonesia, Inggris dan Australia ternyata sama-sama memiliki tingkat kerentanan dalam pelanggaran hak asasi manusia, terutama jika dikaitkan dengan penyidikan awal dimana seseorang dicurigai terlibat dalam tindak pidana terorisme. Ketiga negara menetapan batasan waktu penangkapan yang melanggar ketentuan internasional yakni maksimal 48 jam atau Legal Aid, Sentencing and Punishment of Offenders Act 2012. Ayat 1 The Guardian, “Legal Aid 21st-century Britain”, diakses pada 24 Mei 2012 NLA,A New National Policy For Legal Aid in Australia, diakses pada 24 Mei 2012 sesegera mungkin dihadapkan ke muka hakim. Terkait dengan peran intelijen hanya Austrlia yang memberikan syarat-syarat yang cukup untuk intelijen dalam melakukan penahanan dan interogasi , di Indonesia intelijen memang tidak berhak melakukan penangkapan tetapi hasil dari informasi intelijen dapat dijadikan bukti permulaan bagi kepolisian, di Inggris intelijen memiliki peranan lebih luas sehingga diduga banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia oleh agen-agen rahasia Inggris. Dalam bantuan hukum bagi pelaku terorisme , Indonesia tidak mewajibkan adanya bantuan hukum kecuali bagi mereka yang diancam lebih dari 15 tahun atau hukuman mati, sementara Inggris dan Australia mereka memiliki aturan hukum bahwa seseorang harus didampingi oleh penasehat hukum sesaat setelah adanya penangkapan. Hukuman mati bagi pelaku terorisme masih di ancamkan di Indonesia, sementara di Inggris dan Australia hukuman mati sudah tidak diberlakukan lagi, hal ini menjadikan due process of law terkait dengan terorisme sulit diterapkan di Indonesia. Daftar Pustaka Buku Abdul Wahid.,dkk, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum Bandung, Refika Aditama, 2004 Australian Human Rights Commission, A Human Rights To Guide Australia’s Counter Terrorism Law’s, Sydney, HREOC, 2008 Rusdi Marpaung dan Al Araf, Terorisme Aksi dan Regulasi Jakarta, Imparsial, 2003 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana; Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum,2007 Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Socialist Law Bandung, Nusa Media, 2010 Clive Walker, The Prevention Of Terrorism In British Law, Manchester, Manchester University Press, 1986 Australian Human Rights Commission, A Human Rights To Guide Australia’s Counter Terrorism Law’s, Sydney, HREOC, 2008 Harry R Dammer dan Jay S Albanese, Comparative Criminal Justices System, Belmont, Wadworths Cengage Learning, 2011 Hoffman David & Rowe John , Human Rights in the UK An Introduction to the Human Rights Act of 1998 3 ed., London, Pearson Longman, 2010 Indriyanto Seno Adji, Humanisme Dan Pembaruan Penegakan Hukum Jakarta, Kompas, 2009 Lawrence M Friedman , American Law An Introduction 2nd Edition, Jakarta, Tatanusa, 2001 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia,Jakarta, Aksara Baru, 1978 Satya Arinanto, Politik Hukum 2, Jakarta, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004 Sandra Beatriz Hale, The Discourse of Court Interpreting Discourse Practices of the Law, the Witness and the Interpreter, Amsterdam, John Benjamin BV, 2004 Syahdatul Kahfi Editor, Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, Jakarta, Spectrum, 2006 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta, Kompas, 2009 hal. 242-243 Makalah , Desertasi, Artikel dan Internet Austin T Turk, “Sosiology of Terrorism”, artikel dalam Annual Review Of Sosiology 2004 , JSTOR , . diakses pada 25 Mei 2012 BBC News, “Man Friend with Bomb Plotter”, diakses pada 23 Mei 2005. Craig T Cobaen, Terrorism and Democracy The Balance Between Freedom and Order; British Experience, Desertasi pada University of Cincinnati University of Cincinnati, Cincinnati 2003 Dailymail, Britain Dirty Torture Secret To Be Laid Bare Huge Payout For Victim as PM Order Inquiry Into Secret Services, diakses pada 24 Mei 2012 Jenny Hocking, Terrorism and Counter-Terrorism; Instituanising Political Order , artikel dalam The Australian Quartley, Vol. 58 , JSTOR, diakses pada 08 Mei 2012 Kontras, Data Narapidana dengan Vonis Mati, diakses pada 03 Mei 2012 Law Foundation, UU Anti Terorisme, ASIO, Polisi dan Anda – Edisi dalam Bahasa Indonesia, diakses pada 24 mei 2012 Liberty, “Terorism Bill Rushed” , diakses pada 15 Mei 2012 NLA,A New National Policy For Legal Aid in Australia, diakses pada 24 Mei 2012 NSWCCL, “Australia Policy on Death Penalty”, diakses pada 20 Mei 2012, Open Society Foundation, British Debates Over National Security And Public Right To Know, Rizal Sukma, “Keamanan Internasional Pasca 11 September Terorisme, Hegemoni AS, dan Implikasi Regional”, Makalah Pada Seminar Hukum Nasional, VIII Denpasar 14-18 Juli 2003, Denpasar, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2003 Robert R. Strang, “More Adversarial, but not Completely Adversarial Reformasi of the Indonesian Criminal Procedure Code” Fordham Journal International Law Volume 32, hal. 222-223 lihat juga pasal 9 International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR Suara Merdeka, “Bola Panas Itu Ada di Perpu Terorisme”, Sabtu, 26 Oktober 2002 The Age, “Death Penalty Dead and Buried”, diakses pada 20 Mei 2012 The Guardian, “Legal Aid 21st-century Britain”, diakses pada 24 Mei 2012 -, British Complicit in Mainstream and Posible Torture says UN” diakses pada 22 Mei 2012 Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor. 76 Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 102 Republik Indonesia Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Tehnik Penyusunan Perundang-Undangan Dan Bentuk Rancangan Undang-undangan, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden, United Kingdom, The Terorism Act 2006 United Kingdom, Intelligence Services Act 1994 Australia, Australia Security Intelligence Organisation Act 1979 Australia, Criminal Code Act 1995 Australia, The Terrorism Act 2006 Commencement 1 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this R. StrangThis Article provides a perspective not normally available to legal scholars in the area of comparative law - it is a firsthand account of criminal procedure reform in the Republic of Indonesia. Indonesia, the world’s fourth largest country by population and the largest civil law jurisdiction, has embarked on sweeping legal, political, and institutional reform in the ten years since the collapse of authoritarian rule. Half way around the world from the Indonesia is virtually unknown to Western legal scholars, yet the changes being made in Indonesian criminal procedure are fundamental establishing a suspect’s right to remain silent; limiting pretrial detention; requiring police/prosecutor cooperation; liberalizing the rules of evidence; introducing guilty pleas and cooperating defendants; and replacing inquisitorial trial and pretrial procedures with adversarial ones. This process illustrates the enormous potential for code-based criminal procedure reform and its capacity to introduce new concepts into a criminal justice system, but its success requires legal actors to accept and internalize an entirely new conceptualization of their roles. PThis Article places the transformation of the Indonesian criminal procedure within the larger context of overall Indonesian legal reform as well as the widespread efforts to modernize criminal procedure codes throughout the civil law world. It is not limited to examining the final result, but also describes how and why particular results were reached – the sources the drafting team relied upon, the evolution of the code during the drafting process, and the motivations of drafting members in reaching particularly results. This Article pulls together a number of different important areas of current scholarship - comparative criminal procedure, international technical assistance, and post-authoritarian reform - in a reader-accessible case study Prevention Of Terrorism In British LawClive WalkerClive Walker, The Prevention Of Terrorism In British Law, Manchester, Manchester University Press, 1986Harry R Dammer Dan Jay S AlbaneseHarry R Dammer dan Jay S Albanese, Comparative Criminal Justices System, Belmont, Wadworths Cengage Learning, 2011American Law An Introduction 2 nd EditionM LawrenceFriedmanLawrence M Friedman, American Law An Introduction 2 nd Edition, Jakarta, Tatanusa, 2001Satya ArinantoSatya Arinanto, Politik Hukum 2, Jakarta, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004Syahdatul Kahfi EditorSyahdatul Kahfi Editor, Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, Jakarta, Spectrum, 2006T AustinTurkAustin T Turk, "Sosiology of Terrorism", artikel dalam Annual Review Of Sosiology 2004, JSTOR, diakses pada 25 Mei 2012 BBC News, "Man Friend with Bomb Plotter", diakses pada 23 Mei and Democracy The Balance Between Freedom and OrderCraig T CobaenCraig T Cobaen, Terrorism and Democracy The Balance Between Freedom and Order;Britain Dirty Torture Secret To Be Laid Bare Huge Payout For Victim as PMDailymailDailymail, Britain Dirty Torture Secret To Be Laid Bare Huge Payout For Victim as PM Order Inquiry Into Secret Services, diakses pada 24 Mei 2012A New National Policy For Legal Aid in AustraliaLibertyLiberty, "Terorism Bill Rushed", diakses pada 15 Mei 2012 NLA,A New National Policy For Legal Aid in Australia, diakses pada 24 Mei 2012 NSWCCL, "Australia Policy on Death Penalty", diakses pada 20 Mei 2012, Open Society Foundation, British Debates Over National Security And Public Right To Know, BeliProduk Hukum Pidana Prof Dr Berkualitas Dengan Harga Murah dari Berbagai Pelapak di Indonesia. Tersedia Gratis Ongkir Pengiriman Sampai di Hari yang Sama. Download app BukaBantuan. Kategori. Produk virtual. Daftar. Login. Home. hukum pidana prof dr. Hasil pencarian "Hukum Pidana Prof Dr" 115 barang. PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA DAN ASAS MAKALAH HUKUM INTERNASIONALPerbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Hukum Pidana Inggris“Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional”Disusun Oleh Romi SaputraKEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGIUNIVERSITAS RIAUFAKULTAS HUKUM2022Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Hukum Pidana InggrisA. Perbandingan Dan Perbedaan Asas Legalitas Indonesia Dengan Asas Legalitas Inggris Asas Legalitas di Indonesia Asas legalitas di Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi ”tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturanpidana dalam perundang- undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.Konsekuensi dari pasal tersebut ialah bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak dapatdipidana; jadi dengan asas ini hukum yang tidak tertulis tidak memiliki kekuatan hukum untuk diterapkan. Namun atas hal itu dikecualikan terhadap daerah-daerah yang dulu termasuk kekuasaan pengadilan swapraja dan pengadilan adat dengan dilakukan pembatasan-pembatasan tertentu itu KUHP Indonesia juga melarang adanya analogi terhadap suatu perbuatan konkret yang tidak diatur oleh undang-undang. Asas Legalitas Di Inggris Asas Legalitas di Inggris walaupun asas ini tidak pernah secara formal dirumuskan dalam perundang-undangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan. Karena bersumber pada case law, pada mulanya pengadilan di inggris merasa dirinya berhak menciptakan delik. Namun dalam perkembangannya, pada 1972 House of Lords menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi tampaknya ada pergeseran dari asas legalitas dalam pengertian materiil ke asas legalitas dalam pengertian pengertian formal. Artinya, suatu delik oleh hakim berdasarkan common law hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat putusan pengadilan, namun dalam perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang statute law. Sehingga di dalam Sistem Hukum Inggris yaitu Common Law dimana prinsipnya hukum tidak tertulis yang jadi patokan nilai yang ada pada masyarakat. Peran hakim menciptakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat. Hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis asas doctrine of precedent. Sumber hukum utama adalah putusan hakim yurisprudensi. Sehingga dari kedua Asas diatas dapat diketahui perbedaannya yaitu Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Inggris adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari putusan hakim yurisprudensi. Jadi dalam memutuskan suatu perbuatan pidana di inggris biasanya bersumber pada yurisprudensi hakim. Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Indonesia adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan dalam pemutusan suatu perbuatan pidana Indonesia tetap bersumber menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. singkat liability without fault pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Menurut common law, Strict Liability berlaku terhadap 3 macam delik a Public nuisance gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan. b Criminal libel penghinaan/fitnah, pencemaran nama baik c Contempt of Court pelanggaran tata tertib di pengadilan Misalnya mengancam Jaksa, hakim dan pertanggungjawaban mutlak strict Liability merupakan prinsip pertanggung jawaban hukum liability yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability jika penggunaan tersebut bersifat non natural atau di luar kelaziman, atau tidak seperti biasanya. Jenis pertanggung jawaban ini muncul sebagai reaksi atas segala kekurangan dari system atau jenis pertanggungjawaban fault based liability. Pertanggung jawaban hukum konvensional selama ini menganut asas pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan liability based on fault, artinya bahwa tidak seorangpun dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya tidak terdapat unsur-unsur kesalahan. Dalam kasus lingkungan dokrin tersebut akan melahirkan kendala bagi penegakan hukum dipengadilan karena dokrin ini tidak mampu mengantisipasi secara efektif dampak dari kegiatan industri modern yang mengandung resiko-resiko potensial. Pertanggung jawaban mutlak pada awalnya berkembang dinegara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon atau common law, walaupun kemudian mengalami perubahan perkembangan dibeberapa negara untuk mengadopsinya. Beberapa negara yang menganut asas ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda, Thailand.
RomIiAtmsasmita,2OO2, Parbandingan Hukum Pidanc, RajawaIi, Jakarta. MuIadi,I997,HakAsasiManusia poIitik dan Sistim PeradIanPdana.Universitas Diponegoro. Semarang.hIm.I5I . B. Perundng-undangan . Hukum Pidana lndonesia Undang-Undang No.I Tahun I946 tantang Paraturan Pidana. Singapur, Undang-Undang KUHP 224 Bab XVl PasaI 3OO.

Related PapersSebagian besar masyarakat masih kurang memahami adanya tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Hal ini disebabkan karakteristik tindak pidana korporasi ini adalah sangat kompleks, disamping itu yang tidak kalah penting menyebabkan sampai tidak dikenalnya tindak pidana korporasi di masyarakat adalah memang tidak diaturnya tindak pidana korporasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, namun secara parsial sudah banyakdiatur dalam hukum pidana di luar KUHP. Proses moderenisasi dan pembangunan ekonomi, menunjukkan bahwa korporasi berperan penting dalam kehidupan masyarakat, namun demikian, tidak jarang korporasi dalam mencapai tujuannya melakukan aktivitas yang menyimpang atau bertentangan dengan hukum pidana dengan modus operandi yang karena itu, kedudukan korporasi sebagai subjek hukum keperdataan telah bergeser menjadi tindak pidana, disamping tindak pidana manusia alamiah Natuurlijk person. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui dapat tidaknya korporasi dimintai pertanggungjawaban pidana serta cara membuktikan bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi. Jenis penelitian yang digunakan ialah penelitian hukum normatif, jenis penelitian ini menggunakan 4 jenis pendekatan yang makan pendekatan tersebut adalah pendekatan undang-undang, pendekatan analisis konsep hukum, pendekatan sejarah dan pendekatan perbandingan, serta menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Dapat tidaknya korporasi dimintai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana, sejatinya korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, sepanjang korporasi itu telah memperoleh status kebadanhukumannya yang sah maka korporasi itu bisa dibebani pertanggungjawabana secara pidana. Cara membuktikan korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi dengan menggunakan pertanggungjawaban mutlak Strict liability, pertanggungjawaban pengganti Vicarious liability serta mengadopsi teori identifikasi Identification theory kedalam penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Kata kunci Korporasi, Korupsi, Pertanggungjawaban pidanaPertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Kejahatan Hak Cipta © April 2018 Eklektikus Ahmad Mahyani, Editor Tomy Michael Master Desain Tata Letak Eko Puji Sulistyo Angka Standar Buku Internasional 978-602-1176-32-0 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Katalog Dalam Terbitan Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang digunakan atau direproduksi dengan tujuan komersial dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari kecuali dalam hal penukilan untuk keperluan artikel atau karangan ilmiah dengan menyebutkan judul dan penerbit buku ini secara lengkap sebagai sumber referensi. Terima kasih PENERBIT PERTAMA DENGAN KODE BATANG UNIK PRAKATA Tidak dikategorikannya sebuah korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam Undang-Undang Hak Cipta ini, berakibat korporasi tidak dapat dituntut bertanggungjawab secara pidana. Korporasi yang melakukan kejahatan terhadap hak cipta ini seolah-olah memperoleh hak impunity, yaitu kebebasan dari hukuman atas kejahatannya dalam bentuk pembajakan, memperbanyak dan memperjual belikan karya cipta seseorang. Padahal kerugian yang ditimbulkan oleh korporasi pelaku kejahatan hak cipta ini sangat besar akibatnya bagi negara maupun bagi pemilik atau pemegang hak cipta dibandingkan bila pelakunya adalah perorangan. Pertanggungjawaban yang dilimpahkan kepada pengurus korporasi, baik itu direktur, manajer, kepala bagian, operator, bahkan sampai karyawan bawah sekalipun yang telah berlangsung selama ini terbukti tidak berhasil menimbulkan deterrent effect. Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa dalam hal pelangaran hak cipta, korporasi yang melakukannya harus dapat dituntut secara pidana berikut pengurusnya dengan pidana denda yang maksimal agar kejahatan tersebut tidak terulang lagi dikemudian hari, beserta teori yang cocok untuk diterapkan. Dipaparkan pula pemikiran untuk lebih mengedepankan aspek primum remedium bila pelanggaran ini telah mencapai taraf yang meresahkan dan menimbulkan gangguan secara luas. Disarankan untuk mengambil alih korporasi yang melakukan pelanggaran hak cipta bila penerapan aspek primum remedium berakibat bangkrutnya korporasi, sehingga karyawannya tidak kehilangan pekerjaan. Akhirnya, karya buku yang diambil dari tesis penulis Agustus 2012 dapat dimanfaatkan sebagai penambah wawasan pengetahuan di bidang perlindungan hak cipta, tidak saja khusus untuk para mahasiswa namun juga bagi khalayak umum yang membutuhkannya. Surabaya, Maret 2018 Penulis Ahmad Mahyani, Skripsi ini adalah hasil penelitian tentang kajian komparatif asas kesalahan menurut kitab undang-undang hukum pidana indonesia dan kitab undang-undang hukum pidana jerman, bahwa untuk mempidana pelaku tindak pidana harus secara objektif telah melakukan tindak pidana dan secara subyektif harus ada kesalahan yang dikenal sebagai asas kesalahan atau geen straf zonder schuld, namun KUHP Indonesia tidak meformulasikan secara eksplisit mengenai asas kesalahan ini, berbeda dengan KUHP Indonesia, Germani Criminal Code yang sama-sama menganut civil law merumuskan secara eksplisit mengenai asas kesalahan sebagai salah satu prinsip monodualistik. Maka dapat dilihat dengan jelas perbedaan bahwa KUHP Indonesia tidak merumuskan secara eksplisit asas kesalahan, sedangkan Jerman mengatur asas kesalahan secara eksplisit dalam Germani criminal code. Tujuan dari penelitian ini adalah 1 membandingkan, mengetahui dan menjelaskan pengaturan asas kesalahan di Indonesia dan di Jerman dan 2 Untuk mengkaji kebijakan formulasi asas kesalahan dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis-normatif sebagai pendekatan utama dan pendekatan komparatif yaitu mengenai masalah asas kesalahan antara Indonesia dengan KUHP Negara Jerman. Objek utama penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Metode penelitian data menggunakan langkah langkah 1 mengidentifikasi fakta hukum tentang asas kesalahan 2 mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan asas kesalahan dalam KUHP Indonesia, KUHP Jerman, dan Asas kesalahan dan perspektif pembaharuan hukum pidana 3 menarik analisa dalam bentuk argumentasi 4 memberikan penilaian berdasar argumentasi yang di bangun dalam kesimpulan. Tehnik pengumpulan data ditempuh dengan studi pustaka. Sedangkan analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa KUHP Indonesia tidak memformulasikan secara eksplit asas kesalahan baik dalam ketentuan umum maupun dalam ketentuan khusus, namun dalam Pasal-Pasal tindak pidana yang dilanggar secara implisit untuk mempidana seseorang melakukan tindak pidana harus ada kesalahan baik dalam bentuk kesengajaan ataupun kelalaian, sedangkan di Jerman mengatur dan memanifestasikan Asas kesalahan, dalam Germani Criminal Code pada Bab II KUHP Republik Demokrasi Jerman Jerman Timur 1968, yang pada saat itu Jerman Masih menjadi Negara bagian yaitu Jerman Barat dan Jerman Timur, dan setelah Negara Jerman Bersatu Pada tahun 1990 dalam amandemen Germani Criminal Code Asas Kesalahan ditempatkan dalam 1 pasal Aturan Umum dan terbagi menjadi 2, yaitu Kesalahan Fakta dan Kesalahan Hukum. dalam hukum pidana nasional yang akan datang asas kesalahan diatur secara eksplisit dalam ketentuan umum KUHP Indonesia pasangan asas legalitas. Kata Kunci Kajian Komparatif, Asas Kesalahan, Pembaharuan Hukum Pidana Nasional,This research aimed to analyse and giving description on penal responsibility application in Criminal Code and Law Number 8 Year 1999 on Consumer Protection. Legal issues in this research are how the corporate's criminal responsibility in Criminal Code and Law on Consumer Protection. The result shows that corporate's criminal responsibilities in not regulated in Criminal Code, the criminal law subject is persons. The criminal code adopt sociates delinquere non potest principle, means corporate is not able to conduct crimes. Corporate is a subject of criminal law can be found in Law on Consumer Protection. Corporate's criminal responsibility can be imposed to corporate itself even tough in such act corporate is not have fault factors, this matter based on strict liability theory. Corporate's responsility can be imposed by the actions of corporate directors, as substitute responsibility of corporate directors actions, this matter based on vicarious liability. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memberikan gambaran penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Isu hukum dalam penelitian ini meliputi Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Hukum Pidana, Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam undang-undang perlindungan konsumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pertanggungjawaban korporasi tidak diatur di dalam KUHP, subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan. KUHP masih menganut asas sociates delinquere non potest yaitu korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana. Korporasi dipandang sebagai subyek dalam hukum pidana, hal ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dibebankan kepada korporasi meskipun dalam perbuatan pidana tersebut korporasi tidak memiliki unsur kesalahan, hal ini mengacu pada teori strict liability. Korporasi dipertanggungjawabankan atas perbuatan yang dilakukan oleh para pengurus korporasi tersebut, korporasi sebagai pertanggungjawaban pengganti atas perbuatan yang dilakukan pengurus korporasi, hal ini mengacu pada teori vicarious ini merupakan tugas kelompok yang berisi mengenai ringkasan materi tentang Tindak PIdana, Implementasi di INdonesia dan analisis mengenai tindak pidana yang dibahas dalam buku yang kami ringkas

AnalisisPutusan No. 673 /Pid. B / 2013/ Pn Plg Tentang Penyimpanan Bbm Di Tinjau Dari Hukum Pidana Dan Hukum Islam; Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 624k/Ag/2017 Tentang Sengketa Ekonomi Syariah Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Ditinjau Dari Hukum Islam
0% found this document useful 0 votes1K views13 pagesDescriptionPerbandingan Hukum Pidana Indonesia Dan InggrisCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes1K views13 pagesPerbandingan Hukum Pidana Indonesia Dan InggrisJump to Page You are on page 1of 13 You're Reading a Free Preview Pages 6 to 12 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime. PERBANDINGANHUKUM PIDANA INGGRIS DENGAN INDONESIA A. Klasifikasi Tindak Pidana 1. Berdasarkan Hukum Pidana Inggris Klasifikasi tindak pidana menurut hukum pidana Inggris bertitik tolak dan tergantung dari hirarki pengadilannya. Terhadap perkara - perkara pidana, terdapat 2 (dua) pengadilan yang memiliki kewenangan mengadili yang berbeda, yaitu: a.
ArticlePDF AvailableAbstractAnak adalah suatu hal yang memiliki nilai berharga bagi sebuah bangsa sebagai generasi penerus pembangunan negara yang ideal. Pelaksanaan perlindungan terhadap anak di ciptakan atas kesadaran bahwa anak adalah calon pemimpin dan penerus bagi pembangunan yang memiliki sifat berkelanjutan bagi sebuah bangsa. Predator seksual kian merajalela dalam mulai dari golongan lower-middle class hingga upper-middle class. Indonesia memiliki sarana untuk memberikan perlindungan anak melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tapi apakah hal tersebut cukup. Jika berkaca pada Inggris yang memiliki pengaturan mengenai perlindungan anak faktor seksualitas, negara Inggris memiliki pengaturan umum pada Penal Code hingga memiliki pengaturan pada The Sexual Offences Act 2003. Hal ini lah yang memicu di ciptakannya karya tulis skripsi ini guna mencari persamaan dan perbedaan unsur perkosaan di bawah umur menggunakan metode penelitian dari objek penelitian Pustaka, tipe yang di gunakan adalah yuridis normatif, dengan sifat penelitian yaitu deskriptif analitis, data primer dan metode analisis data kulitatif, serta penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika deduktif. Adapun hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan adalah terdapat 4 persamaan dan 10 poin perbedaan dimana salah satunya adalah Indonesia tidak memiliki Undang-Undang mengenai Kekerasan Seksual yang akan menjadi wadah bagi perlindungan generasi penerus bangsa. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Reformasi Hukum Trisakti Vol. 4 No. 4 2022 Hal 805-818 Doi 805 PERBANDINGAN HUKUM NEGARA INDONESIA DAN NEGARA INGGRIS MENGENAI PERKOSAAN DI BAWAH UMUR Khrisdianto Risyad Email Khrisdianto78 Vientje Ratna Multiwijaya Email ABSTRAK Anak adalah suatu hal yang memiliki nilai berharga bagi sebuah bangsa sebagai generasi penerus pembangunan negara yang ideal. Pelaksanaan perlindungan terhadap anak di ciptakan atas kesadaran bahwa anak adalah calon pemimpin dan penerus bagi pembangunan yang memiliki sifat berkelanjutan bagi sebuah bangsa. Predator seksual kian merajalela dalam mulai dari golongan lower-middle class hingga upper-middle class. Indonesia memiliki sarana untuk memberikan perlindungan anak melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tapi apakah hal tersebut cukup. Jika berkaca pada Inggris yang memiliki pengaturan mengenai perlindungan anak faktor seksualitas, negara Inggris memiliki pengaturan umum pada Penal Code hingga memiliki pengaturan pada The Sexual Offences Act 2003. Hal ini lah yang memicu di ciptakannya karya tulis skripsi ini guna mencari persamaan dan perbedaan unsur perkosaan di bawah umur menggunakan metode penelitian dari objek penelitian Pustaka, tipe yang di gunakan adalah yuridis normatif, dengan sifat penelitian yaitu deskriptif analitis, data primer dan metode analisis data kulitatif, serta penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika deduktif. Adapun hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan adalah terdapat 4 persamaan dan 10 poin perbedaan dimana salah satunya adalah Indonesia tidak memiliki Undang-Undang mengenai Kekerasan Seksual yang akan menjadi wadah bagi perlindungan generasi penerus bangsa. Kata Kunci “Perbandingan Hukum Pidana, Perkosaan, di bawah umur, anak, Indonesia dan Inggris”. Khrisdianto Risyad/ Vientje Ratna Multiwijaya 806 A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kejahatan merupakan fenomena sosial yag terjadi saat ini disetiap tempat, waktu di Indonesia. Situasi ini semakin diperparah dengan adanya pandemic covid-19. Fenomena pemerkosaan terhadap anak-anak di Indonesia menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan. Keadaan anak yang belum mampu untuk mandiri, tentu sangat membutuhkan perlindungan dari seperti orangtua, negara, pemerintah bahkan pemerintah daerah sebagaimana di atur dalam Pasal 24 UU No. 35 tahun 2014. Khususnya di negara berkembang seperti Indonesia sangat memprihatikan. Posisi kedudukan anak yang lemah sangat bergantung pada orang disekitarnya. Hal ini mendorong pemerintah berkali-kali melakukan perubahan humum perlindungan terhadap anak yaitu UU No. 23 tahun 2002, U No. 35 tahun 2002. UU No. 17 tahun 2016 1dan terakhir PP No. 78 tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak. Dalam catatan CATAHU Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang di luncurkan setiap tahun guna memperingati hari perempuan internasional pada tahun 2020 di jabarkan mengenai presentase kasus kekerasan seksual yang di alami oleh anak perempuan. Dalam catatanya di katakan bahwa terdapat kekerasan terhadap Anak perempuan sebanyak 954 kasus. Maka data tersebut menjabarkan dan mendeskripsikan bahwa anak perempuan memiliki resiko tinggi mengalami kekerasan. Peneliti juga berharap dengan adanya penelitian yang di laksanakan dalam hal ruang lingkup perbandingan hukum yang fokus pada Hukum Pidana akan ada sebuah perubahan demi kebaikan keberlangsungan sistem hukum di Indonesia dengan banyaknya implementasi ke arah yang progresif tanpa mengesampingkan unsur harmonisasi dan politik hukum yang ada dalam ruang lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia terutama dalam ranah Hukum Pidana dengan judul “Perbandingan Hukum tentang Tindak Pidana Pemerkosaan terhadap Anak dibawah umur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Hukum Pidana Inggris pada Chapter Perbandingan Hukum Negara Indonesia Dan Negara Inggris Mengenai Perkosaan Di Bawah Umur 807 The Penal Code and Subsidiary Legislation Revised Edition dan The Sexual Offences Act 2003.” Berdasarkan dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dalam penelitian ini maka di kemukakan rumusan masalah ,Apakah persamaan unsur dalam tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Hukum Pidana Inggris pada Chapter The Penal Code and Subsidiary Legislation Revised Edition dan The Sexual Offences Act 2003? Serta Apa perbedaan unsur dalam tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Hukum Pidana Inggris pada Chapter The Penal Code and Subsidiary Legislation Revised Edition dan The Sexual Offences Act 2003? B. Metode Penelitian Suatu penelitian telah dimulai, bila seseorang berusaha untuk memecahkan suatu masalah dengan sistematis dengan metode-metode dan Teknik-teknik tertentu. Metode penelitian adalah uraian mengenai metode yang digunakan untuk menjawab metode penelitian yang akan digunakan penulis dalam melakukan penelitian tersebut adalah sebagai berikut 1. Tipe Penelitian Dalam obyek penelitian ini Adapun objek yang digunakan daam penelitian ini ialah perbandingan hukum tindak pidana perkosaan terhadap anak di bawah umur menurut hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Inggris Tipe penelitiannya merupakan penelitian hukum normative atau yuridis normative yaitu penelitian hukum yang didasarkan pada meneliti bahan Pustaka atau bahan data sekunder yang mencakup penelitian terhadap norma-Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3 Jakarta UI Press, 2007, hal. 3 Pendoman Penulisan Skripsi Fakultas Hukum, Jakarta Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2011, Khrisdianto Risyad/ Vientje Ratna Multiwijaya 808 norma hukum. Pengertian penelitian normatif menurut Soerjono Soekanto, dalam hal ini mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi vertical dan horizontal, penelitian sejarah dan perbandingan hukum. 11 Dengan fokus mengenai perbandingan hukum pidana secara horizontal terhadap tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, dengan fokus objek penelitian adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Hukum Pidana Inggris pada Chapter The Penal Code and Subsidiary Legislation Revised Edition dan The Sexual Offences Act 2003. merupakan penelitian yang menggunakan tipe penelitian normatif, dengan menggunakan metode perbandingan hukum secara horizontal mengenai “Perbandingan Hukum tentang Tindak Pidana Pemerkosaan terhadap Anak dibawah umur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Hukum Pidana Inggris pada Chapter The Penal Code and Subsidiary Legislation Revised Edition dan The Sexual Offences Act 2003.” 2. Sifat Penelitian Dalam penelitian ini, sifat penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis. Adapun sifat penelitian deskriptif analitis merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan data yang seteliti mungkin mengenai manusia, keadaan atau hipotesa agar dapat membantu di dalam memperkuat teori dalam atau dalam penyusunan teori baru. 12 selain itu peneliti bermaksud untuk memberikan gambaran terhadap objek yang di teliti melalui data yang telah peneliti kumpulkan guna menjabarkan kedua jenis peraturan yang akan peneliti teliti. 3. Jenis Data Idealnya didalam sebuah penelitian hukum normatif terdapat dua jenis pengelompokan, yang terdiri dari data sekunder dan juga data primer. Data primer sering juga di sebut sebagai data dasar Primary data atau basic data13. Pada penelitian skripsi ini, peneliti menggunakan data sekunder. Perbandingan Hukum Negara Indonesia Dan Negara Inggris Mengenai Perkosaan Di Bawah Umur 809 Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan atau literatur yang mempunyai hubungan dengan objek penelitian. 4. Pengumpulan Data Adapun cara pengumpulan data yang dipergunakan oleh peneliti ialah dengan melakukan studi kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder melalui a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang memliki kekuatan hukum mengikat. Dalam penelitian ini peneliti mempergunakan bahan hukum primer yang terdiri atas 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat 3; 2 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 J; 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 4 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang 6 United Nations Convention on the Rights of the Child 7 Chapter The Penal Code and Subsidiary Legislation Revised Edition. 8 The Sexual Offences Act 2003 b. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum sekunder ialah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer , seperti misalnya, rancangan Khrisdianto Risyad/ Vientje Ratna Multiwijaya 810 Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan Dalam penggunaan bahan hukum sekunder, peneliti mempergunakan beberapa data yang berfungsi sebagai bahan guna memperluas dan memperkaya pengetahuan serta data terkait permasalahan, di antaranya ialah karya ilmiah para sarjana, kumpulan buku, jurnal hukum, serta artikel yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang ada. 5. Analisis Data Analisis data yang hendak di gunakan oleh peneliti dalam penelitian karya tulis Skripsi ini ialah dengan melakukan analisis data secara kualitatif, Ialah memberikan gambaran-gambaran dengan kata-kata atau temuan-temuan dan karenanya lebih mengutamakan mutu atau kualitas dari data serta bukan kuantitas atau jumlah. Analisis dalam data kualitatif ini ditujukan terhadap data sekunder yang telah dikumpulkan guna memperoleh jawaban daripada pokok permasalahan yang terdapat pada penelitian skripsi ini. Analisis data yang peneliti gunakan yaitu menggunakan metode secara kualitatif ini memiliki makna serta arti bahwa penelitian skripsi ini di lakukan dengan emmpelajari dokumen peraturan perundang-undangan yang menjadi penentu dinamika masyarakat serta bersifat dinamis yang keberadaanya ada di tengah-tengah masyarakat. Karya tulis seperti; buku-buku hukum serta jurnal dalam negeri maupun jurnal luar negeri yang berkaitan dengan objek penelitian. Serta, untuk Langkah lanjutan dari analisis data, akan di lakukan sebuah analisis tanpa menggunakan angka dan table, hal ini bertujuan agar memperoleh gambaran menyeluruh terkait dengan topik pembahasan yang berkaitan dengan materi yang hendak di teliti dalam karya tulis skripsi ini. 6. Cara Penarikan Kesimpulan Metode atau cara yang di gunakan oleh peneliti dalam penarikan kesimpulan karya tulis skripsi ini ialah dengan menggunakan logika deduktif. Metode logika deduktif ialah metode yang digunakan untuk menyimpuljann Perbandingan Hukum Negara Indonesia Dan Negara Inggris Mengenai Perkosaan Di Bawah Umur 811 suatu hasil penelitian dari yang bersifat umum Abstrak menjadi bersifat khusus Konkret. 18 Cara atau metode ini dilaksanakan dengan melakukan analisis dalam hal pengertian-pengertian atau konsep-konsep umum, di antaranya mengenai pengertian dan konsep mengenai Perbandingan hukum pidana, hingga pada titik kulminasinya pada jawaban atas permasalahan yang terdapat pada karya tulis skripsi ini. C. TINJAUAN PUSTAKA TENTANG HUKUM PIDANA INGGRIS MENGENAI TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PIDANA INGGRIS 1. Hukum Pidana Inggris Negara Inggris merupakan sebuah negara yang terletak di benua eropa dengan sistem kerajaan sebagai dinamo penggerak pemerintahannya. Negara yang di pimpin oleh Ratu Elisabeth ini pada dasarnya memiliki sebuah sistem hukum pidana yang konstruktif dengan penerapannya yang di kenal dengan sebuah sistem Bernama Criminal Justice System. Negara Inggris raya pada dasarnya memiliki tiga sistem hukum yang terpisah. Masing-masing diperuntukan untuk negara Inggris dan Wales secara terintegrasi, serta hukum pada negara Skolandia dan Irlandia Utara. Hal ini mencerminkan hadirnya asal-usul sejarah dan fakta bahwa baik negara Skolandia dan Irlandia serta Irlandia Utara mempertahankan sistem dan tradisi Hukum mereka sendiri di bawah Undang-Undang Serikat 1707 dan 1800. Pada dasarnya terdapat tiga sistem bernegara di Negara Inggris yaitu sebuah sistem peradilan serta dua cabang lainnya ialah eksekutif Pemerintah dan legislatif. Keseluruhanya memiliki peran dan fungsi yang ditentukan dalam konstitusi negara Inggris secara tertulis, dengan substansi mencegah terddapatnya pemusatan kekuasaan di salah satu kekuasaan dan memungkinkan tiap-tiap cabang berfungsi sebagai pengawas di dua kekuasaan lainnya. Khrisdianto Risyad/ Vientje Ratna Multiwijaya 812 2. Tindak Pidana Inggris Terdapat beberapa tindak pidana yang kemudian di klasifikasikan dalam Hukum Pidana Inggris, di antaranya a. Pengelompokan Tindak Pidana secara Historis Berkaca terhadap The Criminal Law Act 1967, delik atau tindak pidana dapat dibagi menjadi dua 1 Misdemeanors less-serious crime, disetarakan dengan “pelanggaran” 2 Felonies serious crime, disetarakan dengan “kejahatan” Keduanya dapat dilakukan separation atau pemisahan dengan pembedaan yang ada di dalamnya. Jika di dasarkan dalam ancaman pemidanaan felonies ialah delik yang common law atau undang-undang dengan ancaman perampasan materil berupa kekayaan atau barang dan pidana mati, juga dalam pengembangan segala delik dengan pengklasifikasian misdemeanours. b. Pengelompokan didasarkan pada The Criminal Law Act 1967 Pengelompokan atau klasifikasi ini di bagi menjadi 2 dua , yaitu 1 Non-Arrestable Offences 2 Arrestable Offences c. Pengelompokan atau klasifikasi Prosedural Disisi lain terdapat juga pengelompokan dengan dasar the mode of trial Prosedur peradilan, di antaranya 1 Indictable Offences Pelanggaran yang dapat didakwa 2 Summary petty Offences Ringkasan kecil Pelanggaran 3 Hybrid Offences Tindak Pidana Campuran 3. Karakteristik Common Law Negara Inggris yang termasuk di dalam pemerintahan United Kingdom dengan sistem kerajaan di dalamnya, secara fundamental mengadopsi sebuah sistem Common Law. Spesifik terhadap Hukum Pidana Inggris berlandaskan atau bersumber dari kebiasaan atau adat- Perbandingan Hukum Negara Indonesia Dan Negara Inggris Mengenai Perkosaan Di Bawah Umur 813 istiadat 92 masyarakat yang ada di dalam sistem sosial negara Inggris. Yang mana sebuah sistem Common law mengebangkan apa yang di dasari dari sebuah keputusan pengadilan. Secara spesifik sistem Common Law bersumber pada unwritten law atau hukum tidak tertulis dalam pemecahan sebuah masalah atau beragam kasus. Pengembanganya kemudian di kembangkan dan diunifikasikan dalam beragam keputusan pengadilan dan menjadi sebuah Precedent. 4. Unsur-Unsur Suatu Tindak Pidana Berdasarkan Hukum Pidana Inggris Hukum Inggris mengatur, bahwa setiap orang yang dalam hal ini melakukan pelanggaran terhadap Penal Code atau Undang-Undang Pidana negara Inggris, harus memenuhi unsur-unsur yang sesuai dengan pemenuhan pemberlakuan dan pengenaan pidana, dimana Actus-Reus ini memiliki arti yang luas, D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Persamaan Tindak Pidana Pemerkosaan di bawah umur menurut Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Inggris Pada bab ini peneliti akan menjabarkan beberapa persamaan dengan metode perbandingan Hukum Pidana dengan limitasi tindak pidana perkosaan terhadap anak di bawah umur yang di anut atau di gunakan dalam sistem hukum pidana di negara Indonesia dan di negara Inggris. Spesifik kemudian peneliti akan mengungkapkan hasil penelitian yang telah di lakukan antara Undang-Undang Perlindungan Anak milik Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dengan Penal Code dan The Sexual Offences Act 2003 milik negara Inggris. Adapun alasan mengapa Kitab Undang-Undang hukum Pidana Indonesia tidak di sertakan sebab berbicara mengenai pemerkosaan anak di bawah umur meskipun telah di atur di dalam Pasal 287 KUHP namun sesuai dengan asas Lex Spesialis Derogate Legi Generali Hukum yang Khrisdianto Risyad/ Vientje Ratna Multiwijaya 814 khusus mengesampingkan hukum yang umum di tambah juga dengan pengaturan di dalam pasal 103 KUHP maka peneliti akan fokus terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014. 2. Perbedaan Tindak Pidana Pemerkosaan di bawah umur menurut Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Inggris Dari penelitian Pustaka yang dilakukan oleh peneliti di temukan beberapa perbedaan yang peneliti temukan yang di atur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, United Kingdom Penal Code, dan The sexual Offences act 2003. Perbedaan tersebut dapat di temukan dalam perbedaan yang peneliti fokuskan pada perbedaan materiil dalam produk perundang-undangan terkait baik yang di miliki Indonesia maupun yang di miliki negara Inggris. Beberapa perbedaan yang peneliti temukan antara lain 1 Sistem Hukum 2 Unsur Persetujuan 3 Sanksi Pidana 4 Butir Perkosaan 5 Unsur Percobaan 6 Durasi Hukuman 7 Umur Obyek Perkosaan 8 Unsur Pelaku 9 Unsur aparat 10 Perkosaan Sedarah Incest E. PENUTUP 1. Kesimpulan Atas dasar pembahasan yang telah di bahas melalui pembahasa dan analisis yang di lakukan oleh peneliti dalam karya tulis skripsi ini, di kaitkan dengan pokok permasalahan oleh peneliti, Perbandingan Hukum Negara Indonesia Dan Negara Inggris Mengenai Perkosaan Di Bawah Umur 815 2. Saran Dilihat dari penelitian yang di lakukan oleh peneliti dan di uraikan dalam bab-ba di atas, peneliti dalam hal ini berkeinginan untuk memberikan saran sebagai berikut a. Bahwa kedua hukum yang dii terapkan oleh kedua negara sangatlah baik dan berfungsi sesuai dengan adat dan sistem hukum masing-masing negara namun tetap bagi kedua negara harus tetap bersifat terbuka bagi pemberlakuan tujuan dari perbandingan hukum ini apabila terdapat sistem hukum negara lain yang lebih baik. b. Peneliti beranggapan bahwa harus ada adopsi dari beberapa pengaturan yang di terapkan oleh Inggris dengan penyesuaian yang ada di Indonesia c. Menurut peneliti berkaca pada sistem yang di bangun oleh Inggris, Indonesia juga harus mengadopsi dan segera melakukan pengesahan terhadap Undang-Undang Anti Kekerasan Seksual sebagaimana yang di miliki Inggris guna melindungi segenap bangsa dari bahaya kejahatan seksual yang semakin kompleks d. Dalam hal sistematis pengaturan, Indonesia memiliki pengaturan yang lebih to the point dan tidak bertele-tele, namun besar harapan bagi peneliti pencakupan subyek yang di terakan dalam undang-undang milik Indonesia di pertahankan seiring umumnya pengaturan yang di hadirkan. e. Kejahatan seksualitas terhadap anak di bawah umur harus di buat dalam bentuk perundang-undangan khusus seperti Inggris. Dalam hal ini Inggris melakukan separation system dimana Undang-Undang khusus bagi perlindungan anak di pisah dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai kejahatan terhadap anak terutama fokus pada kejahatan seksualitas. Khrisdianto Risyad/ Vientje Ratna Multiwijaya 816 F. DAFTAR PUSTAKA Buku Arief, Barda Nawawi. 2014. Perbandingan Hukum Pidana. Depok Rajagrafindo Persada. Atmasasmita, Romli. 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung Mandar Maju. Dubber, Markus D. Criminal Law Model Penal Code Foundation Press. 2002 Elgar, International Criminal Procedure UK Cheltenam. Rasyid Ariman, Fahmi Raghib. 2016. Hukum Pidana. Malang Setara Press. Hiariej, Eddy 2014. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta Cahaya Atma Pustaka. Heveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Tata Nusa. Lanius, D., Strategic Indeterminacy in the Law Oxford Oxford University Press, 2019, hal. 113 Hukum Citra Aditya Bakti Marpaung, Leden. 2005. Asas-Asas Teori Hukum Sinar Gradika. Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta Rineka Cipta. Narjmawati. 2008. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Teori dan Aplikasi. Bandung PT Indeks Kelompok Gramedia. Nurbani, Salim HS dan Erlies Septiana. 2013. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta Raja Grafindo Persada. Qamar, Nurul. 2010. Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System dan Common Law Pustaka Refleksi. Eddy. 2016. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Cahaya Atma Pustaka. Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung Reksa Aditama. Prasetyo, Hukum Raja Grafindo Persada Rahmawati, Dasar-dasar Penghapus, Penuntut, Peringan dan Pemberat Pidana Universitas Trisakti. Soekanto, Soerjono. 2015. Pengantar Penelitian Ilmu Hukum. Depok UI-press. ____. 1990. Rungkasan Metodologi Hukum Empiris. Jakarta Indonesia Hill-Co. Sianturi S. R, Kanter Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapanya. Jakarta Storia Grafika. Sudarto. 2007. Hukum dan Hukum Alumni. Widnyana, I Made. 2010. Asas-Asas Hukum Fikahati Aneska. Yuwono, Ismantoro Dwi. 2015. Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Yogyakarta Pustaka Yustisia. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Perbandingan Hukum Negara Indonesia Dan Negara Inggris Mengenai Perkosaan Di Bawah Umur 817 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang Undang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak United Nations Convention on the Rights of the Child Chapter The Penal Code and Subsidiary Legislation Revised Edition. The Sexual Offences Act 2003 JURNAL Gordon C. Helsinki Institute for Crime Prevention and Control affiliated with the United Nations. Criminal Justice System in Rian Praudi Saputra, “Perbandingan Hukum Pidana Indonesia Dengan Inggris”, Jurnal Hukum, Vol 3 Nomor 1 Februari 2020, INTERNET Chrismanto, ”Penting Perlibatan dan Peran Strategis Kaum Muda dalam Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi Berbasis Gender untuk Membangun Dunia yang Damai Berkelanjutan” , tersedia di 1 November 2021 G. Lubabah. Raynaldo, “KemenPPPA Catat Kekerasan Seksual Tertinggi 1 november 2021 “Kekerasan Seksual Pada Perempuan Makin Miris, Budaya Pemerkosaan Disebut Merajalela di Inggris”, tersedia di 1 November 2021 “Child sexual abuse in England and Wales year ending March 2019”,tersediadi Hans-Heinrich Jescheck, “Criminal Law” ,Tersedia di 7 September 2021 The Law Society, ”Criminal Law” , Tersedia di 16 September 2021 Rape Crisis, ”Types of Sexual Violence”, tersedia di . 14 September 2021 Khrisdianto Risyad/ Vientje Ratna Multiwijaya 818 Sovia Hasanah, “Proses Hukum Kejahatan, Perkosaan, Pencabulan, dan Perzinahan”tersediadi 30 Desember 2021 Courts and Tribunals Judiciary, “The Justice System and The Constitution”, tersedia di 1 Desember 2021 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Hukum Pidana. Depok Rajagrafindo PersadaBarda AriefNawawiArief, Barda Nawawi. 2014. Perbandingan Hukum Pidana. Depok Rajagrafindo Criminal Procedure UK CheltenamEdward ElgarElgar, International Criminal Procedure UK Kualitatif dan Kuantitatif Teori dan Aplikasi. Bandung PT Indeks Kelompok GramediaNarjmawatiNarjmawati. 2008. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Teori dan Aplikasi. Bandung PT Indeks Kelompok Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta Raja Grafindo PersadaSalim NurbaniHs Dan ErliesSeptianaNurbani, Salim HS dan Erlies Septiana. 2013. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta Raja Grafindo Penghapus, Penuntut, Peringan dan Pemberat Pidana DalamKUHPTeguh PrasetyoPrasetyo, Hukum Raja Grafindo Persada Rahmawati, Dasar-dasar Penghapus, Penuntut, Peringan dan Pemberat Pidana Universitas Institute for Crime Prevention and Control affiliated with the United NationsC Jurnal GordonBarclayJURNAL Gordon C. Helsinki Institute for Crime Prevention and Control affiliated with the United Nations. Criminal Justice System in Hukum Pidana Indonesia Dengan InggrisSaputra Rian PraudiRian Praudi Saputra, "Perbandingan Hukum Pidana Indonesia Dengan Inggris", Jurnal Hukum, Vol 3 Nomor 1 Februari 2020, Perlibatan dan Peran Strategis Kaum Muda dalam Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi Berbasis Gender untuk Membangun Dunia yang Damai BerkelanjutanInternet ChrismantoINTERNET Chrismanto, "Penting Perlibatan dan Peran Strategis Kaum Muda dalam Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi Berbasis Gender untuk Membangun Dunia yang Damai Berkelanjutan", tersedia di 1 November 2021KemenPPPA Catat Kekerasan Seksual Tertinggi LubabahRaynaldoG. Lubabah. Raynaldo, "KemenPPPA Catat Kekerasan Seksual Tertinggi pa-catat-kekerasan-seksu 1 november 2021
Berbedadengan di Indonesia, hukum pidana materiil yang berbentuk undang-undang (statute law) di Inggris hanya memuat perumusan tindak pidana (kejahatan) tertentu, misalnya: 1) UU Sumpah palsu (Perjury Act) tahun 1911 2) UU Tindak Pidana Seksual (Sexual Offences Act) 1956 3) UU mengenai Pembunuhan (Homicide Act) 1957
Download Free DOCXDownload Free PDFPERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DENGAN INGGRISPERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DENGAN INGGRISPERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DENGAN INGGRISPERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DENGAN INGGRISDika Al
Contohhukum pidana diantaranya adalah: Pembunuhan, pencurian atau perampokan, penipuan, pemerasan, penganiayaan, pemerkosaan, korupsi, pengemplangan pajak, pemalsuan dokumen dan lain sebagainya. Contoh Hukum perdata diantaranya adalah: Masalah warisan, utang piutang, wanprestasi, sengketa lahan tanah, sengketa kepemilikan barang, pelanggaran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Studi perbandingan hukum pidana pada dasarnya memperbandingkan berbagai sistem hukum yang ada. Dalam Black’s Law Dictionary di definisikan “Comparative Jurisprudence is the study of the principles of legal science by the comparison of various systems of law” dalam hal ini yang diperbandingkan adalah dua atau lebih sistem hukum yang pidana positif Indonesia ialah berasal dari keluarga hukum CivilLaw System yang mementingkan sumber hukum dari peraturan perundangan yang ada dan berlaku di Indonesia. Sementara Inggris menganut sistem hukum Common Law System yang mengutamakan kebiasaan yang berlaku di sana. Kebiasaan tersebut dapat berupa Norma maupun putusan-putusan hakim sebelumnya. Selain perbedaan seperti yang tersebut diatas, kedua sistem hukum pidana kedua negara sebenarnya memiliki kesamaan. Di Indonesia dikenal hukum pidana adat yang sampai saat ini masih diakui dan dipakai dalam masyarakat. Dilihat dari sumber hukumnya, sebenarnya hukum pidana adat tersebut berasal dari kebiasaan yang berlaku dimasyarakat. Hal tersebut sama halnya dengan sumber hukum common law yang berasal dari kebiasaan yang ada di masyarakat. Setiap sistem hukum, pasti memiliki asas-asas yang kemudian dijabarkan dalam aturan-aturan hukumnya. Salah satu asas hukum yang sangat penting dan dimiliki oleh setiap sistem hukum adalah asas legalitas atau dikenal juga dengan asas “Nullum delictum, nulla poena, sina praevia lege poenali” 1. Bagaimana Perbedaan Asas Legalitas Hukum Pidana di Indonesia dengan di Inggris ? 2. Apakah Asas Strict liability di Indonesia sama dengan strict liability di inggris ? 3. Apakah Perbedaan Sistem Peradilan Hukum Pidana Indonesia dengan di Inggris ? .BAB II PEMBAHASAN A. Perbandingan Dan Perbedaan Asas Legalitas Indonesia Dengan Asas Legalitas Inggris a. Asas Legalitas di Indonesia Asas legalitas di Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi ”tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturanpidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.Konsekuensi dari pasal tersebut ialah bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak dapatdipidana; jadi dengan asas ini hukum yang tidak tertulis tidak memiliki kekuatan hukum untuk diterapkan. Namun atas hal itu dikecualikan terhadap daerah-daerah yang dulu termasuk kekuasaan pengadilan swapraja dan pengadilan adat dengan dilakukan pembatasan-pembatasan itu KUHP Indonesia juga melarang adanya analogi terhadap suatu perbuatan konkret yang tidak diatur oleh undang-undang. b. Asas Legalitas Di Inggris Asas Legalitas di Inggris walaupun asas ini tidak pernah secara formal dirumuskan dalam perundang-undangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan. Karena bersumber pada case law, pada mulanya pengadilan di inggris merasa dirinya berhak menciptakan delik. Namun dalam perkembangannya, pada 1972 House of Lords menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi tampaknya ada pergeseran dari asas legalitas dalam pengertian materiil ke asas legalitas dalam pengertian pengertian formal. Artinya, suatu delik oleh hakim berdasarkan common law hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat putusan pengadilan, namun dalam perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang statute law. Sehingga di dalam Sistem Hukum Inggris yaitu Common Law dimana prinsipnya hukum tidak tertulis yang jadi patokan nilai yang ada pada masyarakat. Peran hakim menciptakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat. Hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis asas doctrine of precedent. Sumber hukum utama adalah putusan hakim yurisprudensi. Sehingga dari kedua Asas diatas dapat diketahui perbedaannya yaitu 1. Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Inggris adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari putusan hakim yurisprudensi. Jadi dalam memutuskan suatu perbuatan pidana di inggris biasanya bersumber pada yurisprudensi hakim. 2. Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Indonesia adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan dalam pemutusan suatu perbuatan pidana Indonesia tetap bersumber menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. B. Perbandingan Asas Strict Liability Hukum Pidana Indonesia Dengan Hukum Pidana Inggris a. Asas Stict Liability Indonesia Dalam perkembangan hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula tindak-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang disyaratkan. Cukuplah apabiIa dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak-tindak pidana yang demikian itu disebut offences of strict liability atau yang sering dikenal juga sebagai offences of absolute prohibition. Strict liability disebut juga absolute liability. Istilah dalam bahasa Indonesia yang saya gunakan adalah "pertanggung jawaban mutlak". Mardjono Reksodiputro dalam salah satu tulisannya diterapkannya asas strict liability di Indonesia yang menganut system Eropa Continental, yaitu “Berhubung kita tidak mengenal ajaran Strict liability yang berasal dari system hukum Anglo-Amerika tersebut, maka sebagai alasan pembenar dapat dipergunakan ajaran feit materiel yang berasal dari system hukum Eropa Kontinental. Dalam kedua ajaran ini tidaklah penting adanya unsur kesalahan. Ajaran strict liability hanya dipergunakan untuk tindak pidana ringan. Dalam praktik di Indonesia, ajaran strict liability sudah diterapkan, antara lain untuk pelanggaran Ialu lintas. Para pengemudi kendaraan bermotor yang melanggar lampu lalu lintas, misalnya tidak berhenti pada waktu lampu lalu lintas menunjukkan lampu yang berwarna merah menyaIa, akan ditilang oleh polisi dan selanjutnya akan di sidang di pengadilan. Hakim dalam memutuskan hukunan atas pelanggaran tersebut tidak akan mempersoalkan ada tidak adanya kesalahan pada pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas itu. Pada Pasal 211 KUHAP pembuktian pelanggaran-pelanggaran jenis lalu lintas jalan tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan nyata seketika itu, karena tidak mungkin dipungkiri lagi oleh pelanggar. Berita acara yang ditiadakan diganti dengan bukti pelanggaran lalu lintas tertentu disingkat TILANG yang diisi oleh penegak hukum POLRI Satuan Lalu Lintas. Oleh karena itu, tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat tindakan pidananya telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas "strict liability" b. Asas Strict Liability Inggris Walaupun pada prinsipnya berlaku asas Mens Rea , namun di Inggris ada delik – delik yang tidak mensyaratkan adanya Mens Rea berupa intention, recklessness, atau negligence. Si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang – undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Di sini berlaku apa yang disebut strict liability yang sering diartikan secara singkat liability without fault pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Menurut common law, Strict Liability berlaku terhadap 3 macam delik 1. Public nuisance gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan. 2. Criminal libel penghinaan/fitnah, pencemaran nama baik 3. Contempt of Court pelanggaran tata tertib di pengadilan Misalnya mengancam Jaksa, hakim dan Saksi. Prinsip pertanggungjawaban mutlak strict Liability merupakan prinsip pertanggung jawaban hukum liability yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability jika penggunaan tersebut bersifat non natural atau di luar kelaziman, atau tidak seperti biasanya. Jenis pertanggung jawaban ini muncul sebagai reaksi atas segala kekurangan dari system atau jenis pertanggungjawaban fault based liability. Pertanggung jawaban hukum konvensional selama ini menganut asas pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan liability based on fault, artinya bahwa tidak seorangpun dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya tidak terdapat unsur-unsur kesalahan. Dalam kasus lingkungan dokrin tersebut akan melahirkan kendala bagi penegakan hukum dipengadilan karena dokrin ini tidak mampu mengantisipasi secara efektif dampak dari kegiatan industri modern yang mengandung resiko-resiko potensial. Pertanggung jawaban mutlak pada awalnya berkembang dinegara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon atau common law, walaupun kemudian mengalami perubahan perkembangan dibeberapa negara untuk mengadopsinya. Beberapa negara yang menganut asas ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda, Thailand. C. Perbedaan Sistem Peradilan Pidana Inggris dengan Sistem Pidana Indonesia a. Sekilas Sistem Peradilan Pidana Inggris Sampai akhir 1986, proses penuntutan bagi perkara-perkara ringan di Inggris dilakukan oleh Polisi sendiri Police Prosecutor. Sedangkan perkara yang agak berat dilakukan oleh pengacara yang disebut Solicitor. Dan perkara-perkara yang berat disidangkan di pengadilan tinggi tingkat banding dengan penuntut Umum pengacara yang disebut Barrister. Namun sejak 1986 yang menentukan apakah perkara yang disidik Polisi dapat diajukan ke pengadilan atau tidak adalah Jaksa yang tergabung dalam Crown Prosecution Secvice CPS. Dan di Inggris terdapat 31 kejaksaan atau CPS yang terdiri dari Crown Prosecutor, senior Crown Prosecutor, Assistant branch CPS, Branch prosecutor di Indonesia setingkat Kepala Kejaksaan Negeri, dan Chief Prosecutor setingkat Kepala Kejaksaan tinggi. Sumber hukum dalam sistem peradilan pidana di Inggris terdiri dari a Custom, merupakan sumber hukum tertua. Tumbuh dan berkembang dari kebiasaan suku Anglo Saxon pada abad pertengahan yang melahirkan Common Law. Sehingga sistem hukum Inggris disebut juga sistem anglo saxon. b Legislation/statute, berupa Undang-undang yang dibuat melalui parlemen. c Case law/judge made law, hukum kebiasaan yang berkembang di masyarakat melalui putusan hakim yang kemudian diikuti oleh hakim berikutnya melahirkan asas precedent. Dalam sistem Common Law seperti di Inggris, adat istiadat atau kebiasaan masyarakat custom yang dikembangkan berdasarkan putusan Pengadilan mempunyai kedudukan yang sangat kuat karena berlaku asas STARE DECISIS atau ASAS BINDING FORCE OF PRECEDENTS. Asas ini mewajibkan hakim untuk mengikuti putusan hakim yang ada sebelumnya. Bagian putusan hakim yang harus diikuti dan mengikat adalah bagian pertimbangan hukum yang disebut sebagai ratio decidendi sedangkan hal selebihnya yang disebut obiter dicta tidak mengikat. Dalam sistem peradilan Inggris benar salahnya terdakwa ditentukan oleh juri yang direkrut dari masyarakat biasa. Tugas hakim hanya memastikan persidangan berjalan sesuai prosedur dan menjatuhkan hukuman sesuai hukum. Oleh karena itu, tugas jaksa dan pengacara dalam persidangan adalah meyakinkan juri bahwa terdakwa bersalah atau tidak. Berbeda dengan sistem civil law yang dianut di Indonesia sebagai kelanjutan dari sistem hukum yang dianut Belanda, maka tugas hakim di pengadilan lebih berat karena selain harus menentukan benar salahnya terdakwa juga menetapkan hukuman vonisnya . Pada tahun 1994 telah terjadi pergeseran sistem akusator menjadi sistem inquisitor dalam hukum acara Pidana Inggris. Hal ini dilatarbelakangi karena Polisi di Inggris kesulitan untuk mengungkap atau menyelesaikan berbagai kasus yang menimbulkan ancaman serius bagi masyarakat terutama terorisme. Karena tersangka berlindung dibalik kekebalan hukum yang diberikan oleh UU antara lain hak untuk diam right to remain silent. Perubahan tersebut dilihat dari konteks keberadaan sistem hukum yang ada di dunia civil law dan common law ternyata saat ini bukan saatnya lagi memperdebatkan secara tajam perbedaan antara kedua sistem hukum tersebut. b. Sistem Peradilan Pidana Terpadu Di Indonesia Sistem peradilan pidana di Indonesia sebagaimana diatur dalam KUHAP Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau Undang-undang tahun 1981, sebenarnya identik dengan penegakan hukum pidana yang merupakan suatu sistem kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana ini sesuai ketentuan dalam KUHP dilaksanakan oleh 4 sub sistem yaitu 1. Kekuasaan Penyidikan oleh Lembaga Kepolisian. 2. Kekuasaan Penuntutan oleh Lembaga Penuntut Umum atau Kejaksaan. 3. Kekuasaan mengadili oleh Badan Peradilan atau Hakim. 4. Kekuasaan pelaksanaan hukuman oleh aparat pelaksana eksekusi jaksa dan lembaga pemasyarakatan. No Variabel Indonesia Inggris 1. Pengadilan superior dan inferior strata tingkatan pengadilan dari yang paling tinggi Agung; tinggi; negeri. of lords; agung; banding; tinggi; kerajaan; magistrate. Keempat subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah integrated criminal justice system atau sistem peradilan pidana terpadu. Menilik sistem peradilan pidana terpadu yang diatur dalam KUHAP maka keempat komponen penegakan hukum Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan seharusnya konsisten menjaga agar sistem berjalan secara terpadu. Dengan cara melaksanakan tugas dan wewenang masing-masing sebagaimana telah diberikan oleh Undang-undang. Karena dalam sistem Civil Law yang kita anut, Undang-undang merupakan sumber hukum tertinggi. Karena disana dalam Hukum Acara Pidana telah diatur hak dan kewajiban masing-masing penegak hukum dalam subsistem peradilan pidana terpadu maupun hak-hak dan kewajiban tersangka/terdakwa. Perbedaan Pengadilan Indonesia dan Inggris No Variabel Indonesia Inggris 2. Pembagian pengadilan berdasarkan yurisdiksi khusus umum; agama; tata usaha negara; militer koroner; militer; ketenagakerjaan; imigrasi; 3. Pembagian daerah hukum Terdapat pembagian daerah hukum berdasarkan administrasi wilayah Tidak terdapat pembagian daerah hukum 4. Jumlah hakim yang memeriksa perkara Hakim majelis Umumnya menggunakan hakim tunggal 5. Sistem pembuktian Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif Berdasarkan keyakinan belaka conviction in time BAB III PENUTUP Dari Uraian Pembahasan diatas maka dapat disimpulkan Bahwa Perbedaan yang sangat mencolok yang dapat dilihat antara Hukum pidana Indonesia dengan inggris yaitu dapat kita lihat melalui asas legalitas dari masing-masing dimana asas legalitas Negara inggris bersumber kepada yurisprudensi hakim, sedangkan di Indonesia bersumber pada undang-undang yang berlaku. Dan juga asas strict liability kedua Negara dimana di Negara inggris unsur kesalahan tidak dapat diberikan apa bila tidak ada pada dirinya, sedangkan di Indonesia unsur kesalahan sudah diberikan apabila telah terbukti melakukan suatu kesalahan. Dan yang terakhir dalam system peradilan pidana Indonesia identik dengan penegakan hukum pidana yang mempunyai kekuasaan dan kewenangnan dalam menegakan hukum pidana. Yang terdapat 4 subsistem yaitu, kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili dan kekuasaan pelaksanaan hukuman. Sedangkan dalam system peradilan pidana di inggris putusan pengadilan mempunyai kedudukan yang sangat kuat. Dan putusan hakim mengikat untuk hakim selanjutnya. Dengan membandingkan hukum pidana Negara Indonesia dengan Inggris. Indonesia sebagai Negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan keadilan hukum, perlu meniru tata cara pengambilan putusan dalam penegakan hukum. DAFTAR PUSTAKA Ø Prof. Nawawi Arief, Barda, Perbandingan Hukum Pidana Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 2010 Ø Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1988. Jakarta Balai Pustaka. Ø Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Indonesia
Persamaansistem peradilan pidana Indonesia dan Inggris (lanjutan) 2. Adanya lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, pemasyarakatan dan advokat dengan format yang sedikit berbeda; 3. Adanya kesamaan dalam proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan persidangan, banding, kasasi dan eksekusi 4.
0% found this document useful 0 votes15 views11 pagesCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes15 views11 pagesPerbandingan Hukum Pidana Inggris Dengan IndonesiaJump to Page You are on page 1of 11 You're Reading a Free Preview Pages 6 to 10 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
PerbandinganAsas Strict Liability Hukum Pidana Indonesia Dengan Hukum Pidana Inggris a. Asas Stict Liability Indonesia Dalam perkembangan hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula tindak-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya ftidak memiliki mens rea yang disyaratkan. Sebagian besar masyarakat masih kurang memahami adanya tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Hal ini disebabkan karakteristik tindak pidana korporasi ini adalah sangat kompleks, disamping itu yang tidak kalah penting menyebabkan sampai tidak dikenalnya tindak pidana korporasi di masyarakat adalah memang tidak diaturnya tindak pidana korporasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, namun secara parsial sudah banyakdiatur dalam hukum pidana di luar KUHP. Proses moderenisasi dan pembangunan ekonomi, menunjukkan bahwa korporasi berperan penting dalam kehidupan masyarakat, namun demikian, tidak jarang korporasi dalam mencapai tujuannya melakukan aktivitas yang menyimpang atau bertentangan dengan hukum pidana dengan modus operandi yang karena itu, kedudukan korporasi sebagai subjek hukum keperdataan telah bergeser menjadi tindak pidana, disamping tindak pidana manusia alamiah Natuurlijk person. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui dapat tidaknya korporasi dimintai pertanggungjawaban pidana serta cara membuktikan bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi. Jenis penelitian yang digunakan ialah penelitian hukum normatif, jenis penelitian ini menggunakan 4 jenis pendekatan yang makan pendekatan tersebut adalah pendekatan undang-undang, pendekatan analisis konsep hukum, pendekatan sejarah dan pendekatan perbandingan, serta menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Dapat tidaknya korporasi dimintai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana, sejatinya korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, sepanjang korporasi itu telah memperoleh status kebadanhukumannya yang sah maka korporasi itu bisa dibebani pertanggungjawabana secara pidana. Cara membuktikan korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi dengan menggunakan pertanggungjawaban mutlak Strict liability, pertanggungjawaban pengganti Vicarious liability serta mengadopsi teori identifikasi Identification theory kedalam penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Kata kunci Korporasi, Korupsi, Pertanggungjawaban pidana HabeasCorpusdari sistem peradilan pidana Inggris ini diadaptasikan ke dalam sistem peradilan pidana Indonesia berpotensi berkembang menjadi . Penelitian ini malicious bersifat deskriptif dengan jenis penelitian perbandingan hukum melalui pendekatan perbandingan, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan konseptual
A. Klasifikasi Tindak Pidana1. Berdasarkan Hukum Pidana InggrisKlasifikasi tindak pidana menurut hukum pidana Inggris bertitik tolak dan tergantung dari hirarki pengadilannya. Terhadap perkara – perkara pidana, terdapat 2 dua pengadilan yang memiliki kewenangan mengadili yang berbeda, yaitua. Crown Courtb. Magistrate CourtCrown Court memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pidana berat. Sedangkan Magistrate Court memiliki kewenangan memeriksa dan memutus perkara – perkara pidana ringan. Berdasarkan undang – undang hukum pidana Criminal Law Act 1977, section 14, klasifikasi tindak pidana adalah1 Offences triable only on indictmentDalam praktek peradilan pidana di Inggris, beberapa perkara tindak pidana yang dapat diadili berdasarkan “on indictment” adalah, “murder” pembunuhan, “manslaughter” penganiayaan berat, “rape” perkosaan, “robbery” perampokan, “causing grievious bodily harm with intent to rob and blackmail” menyebabkan luka berat yang diakibatkan oleh niat untuk melakukan perampokan dan pemerasan.2 Offences triable only summarilySemua tindak pidana yang digolongkan ke dalam “summary offences” harus diatur dalam undang – undang. Dengan memasukkan suatu tindak pidana ke dalam “summary offences” berarti mencegah diberlakukannya peradilan juri terhadap tindak pidana tersebut. Magistrate court-lah yang memiliki kewenangan mengadili perkara – perkara tersebut. Beberapa tindak pidana berdasarkan undang – undang hukum pidana 1977 telah ditetapkan sebagai “summary offences” antara lain, pelanggaran lalu lintas dengan kadar alkohol dalam darah pengemudi melebihi batas maksimum yang diperkenankan menurut undang – undang, melakukan kekerasan fisik terhadap petugas polisi, bertingkah laku buruk dan membahayakan di tempat – tempat umum. Pertimbangan lain diberlakukannya beberapa tindakan pidana sebagai “summary offences” adalah agar setiap tertuduh dituntut melakukan kejahatan berat diperlakukan tidak adil karena harus menunggu atau ditahan terlalu Offences triable either wayPerbuatan pelanggaran yang termasuk dalam kategori ini adalah semua perbuatan yang terdapat dalam daftar tindak pidana berdasarkan “Judicial Act” 1980. Beberapa tindak pidana tersebut, yaitua Theft Act 1968, kecuali perampokan, pemerasan, penganiayaan dengan maksud merampok dan mencurib Beberapa pelanggaran yang disebut dalam “the criminal damage act” 1977, termasuk pemmbakaran arsonc Beberapa pelanggara yang dimuat dalam “Perjuri Act” “The forgery act” 1913e “Sexual offences act” 19562. Berdasarkan Hukum Pidana Indonesiaa. Kejahatan dan PelanggaranPembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran ini disebut oleh undang-undang. KUHP buku ke II memuat delik-delik yang disebut pelanggaran criterium apakah yang dipergunakan untuk membedakan kedua jenis delik itu ? KUHP tidak memberi jawaban tentang hal ini. Ia hanya membrisir atau memasukkan dalam kelompok pertama kejahatan dan dalam kelompok kedua ilmu pengetahuan mencari secara intensif ukuran kriterium untuk membedakan kedua jenis delik dua pendapat 1 Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2 jenis delik, ialah a RechtdelictenIalah yang perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan misal pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan” mala perse.b Wetsdelicten Ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan pidana. Misal memarkir mobil di sebelah kanan jalan mala quia prohibita. Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”. Perbedaan secara kwalitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan sebaliknya ada “pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan maka dicari ukuran lain. 2 Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu lebih ringan dari pada “kejahatan”.Kejahatan ringan Dalam KUHP juga terdapat delik yang digolongkan sebagai kejahatan-kejahatan misalnya pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384, 352, 302 1, 315, 407. b. Delik formil dan delik materiil delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil1 Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan penghasutan pasal 160 KUHP, di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia pasal 156 KUHP; penyuapan pasal 209, 210 KUHP; sumpah palsu pasal 242 KUHP; pemalsuan surat pasal 263 KUHP; pencurian pasal 362 KUHP.2 Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki dilarang. Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada pembakaran pasal 187 KUHP, penipuan pasal 378 KUHP, pembunuhan pasal 338 KUHP. Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362. c. Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen commissa1 Delik commisionis delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan. 2 Delik ommisionis delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan / yang diharuskan, misal tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan pasal 522 KUHP, tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan pasal 531 KUHP.3 Delik commisionis per ommisionen commissa delik yang berupa pelanggaan larangan dus delik commissionis, akan tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu pasal 338, 340 KUHP, seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel pasal 194 KUHP.d. Delik dolus dan delik culpa doleuse en culpose delicten1 Delik dolus delik yang memuat unsur kesengajaan, misal pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP2 Delik culpa delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 Delik tunggal dan delik berangkai enkelvoudige en samenge-stelde delicten1 Delik tunggal delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu Delik berangkai delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misal pasal 481 penadahan sebagai kebiasaanf. Delik yang berlangsung terus dan delik selesai voordurende en aflopende delicten Delik yang berlangsung terus delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus, misal merampas kemerdekaan seseorang pasal 333 KUHP.g. Delik aduan dan delik laporan klachtdelicten en niet klacht delictenDelik aduan delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena gelaedeerde partij misal penghinaan pasal 310 dst. jo 319 KUHP perzinahan pasal 284 KUHP, chantage pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps. 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2. Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai 1 Delik aduan yang absolut,Misalnya pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan Delik aduan yang relativMisalnya pasal 367, disebut relatif karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya / peringannya eenvoudige dan gequalificeerde / geprevisilierde delictenMisalnya penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang pasal 351 ayat 2, 3 KUHP, pencurian pada waktu malam hari. pasal 363. Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal pembunuhan kanak-kanak pasal 341 KUHP. Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal penganiayaan pasal 351 KUHP, pencurian pasal 362 KUHP. i. Delik ekonomi biasanya disebut tindak pidana ekonomi dan bukan delik ekonomiApa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun 1955, UU darurat tentang tindak pidana Unsur – unsur Suatu Tindak Pidana1. Berdasarkan Hukum Pidana InggrisDalam sistem hukum Inggris, setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap undang – undang pidana harus memenuhi unsur – unsur sebagai berikut[1]a. Tertuduh telah melakukan suatu perbuatan yang telah dituduhkan atau dikenal dengan istilah Actus – reus;b. Tertuduh melakukan pelanggaran terhadap undang – undang dengan disertai niat jahat atau dikenal dengan istilah Mens – hukum pidana Inggris, Actus – reus mengandung prinsip bahwaa. Perbuatan yang dituduhkan harus secara langsung dilakukan tertuduh. Pada prinsipnya seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain, kecuali ia membujuk orang lain untuk melakukan perlanggaran undang – undang atau tertuduh memiliki tujuan yang sama dengan pelaku pelanggaran Perbuatan yang dituduhkan harus dilakukan tertuduh dengan sukarela tanpa ada paksaan dari pihak lain; atau perbuatan dan akibatnya memang dikehendaki oleh pihak Ketidaktahuan akan undang – undang yang berlaku bukan merupakan alasan pemaaf / yang dapat Mens – rea­ dalam hukum pidana Inggris dijabarkan dan diklasifikasikan menjadia. Intention atau purposely. Dengan pengertian istilah ini berarti bahwa seseorang tertuduh menyadari perbuatan dan menghendaki A membunuh B dengan motif balas dendam dan menghendaki kematian Resklessness. Dengan pengertian istilah ini berarti tertuduh sudah dapat memperkirakan atau menduga sebelum perbuatan dilaksanakan sebelum akibat yang akan terjadi; akan tetapi tertuduh sesungguhnya tidak menghendaki akibat itu A mengendarai kendaraan bermotor melebihi batas kecepatan yang diperbolehkan di dalam kota, dan menabrak pejalan kaki yang mengakibatkan pejalan kaki yang bersangkutan luka – luka Negligence. Dengan pengertian ini dimaksudkan bahwa tertuduh tidak menduga akibat yang akan terjadi, akan tetapi dalam keadaan tertentu undang – undang mensyaratkan bahwa tertuduh harus sudah dapat menduga akibat – akibat yang akan terjadi dari perbuatan yang A menyulut korek api pada waktu ia berada di sebuah pompa bensin, sehingga mengakibatkan terbakarnya pompa bensin tersebut dan banyak korban luka bakar atau mati Berdasarkan Hukum Pidana IndonesiaUnsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari a. Kelakuan dan akibatb. Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi 1 Unsur subyektif atau pribadiYaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1 ayat 1 sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka pasal tersebut2 Unsur obyektif atau non pribadiYaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum. Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak mungkin diterapkan pasal iniUnsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan atau memperberat pidana yang Unsur keadaan yang menentukan misalnya dalam pasal 164, 165, 531 KUHPPasal 164 KUHP ”barang siapa mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan tersebut pasal 104, 106, 107, 108, 113, 115, 124, 187 dan 187 bis, dan pada saat kejahatan masih bisa dicegah dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada yang terancam, diancam, apabila kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”Kewajiban untuk melapor kepada yang berwenang, apabila mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan. Orang yang tidak melapor baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana, jika kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi. Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu adalah merupakan unsur 531 KUHP ”barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.Keharusan memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut jika tidak memberi pertolongan, orang tadi baru melakukan perbuatan pidana, kalau orang yang dalam keadaan bahaya tadi kemudian lalu meninggal dunia. Syarat tambahan tersebut tidak dipandang sebagai unsur delik perbuatan pidana tetapi sebagai syarat Keadaan tambahan yang memberatkan pidanaMisalnya penganiayaan biasa pasal 351 ayat 1 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan. Apabila penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat; ancaman pidana diperberat menjadi 5 tahun pasal 351 ayat 2 KUHP, dan jika mengakibatkan mati ancaman pidana menjad 7 tahun pasal 351 ayat 3 KUHP. Luka berat dan mati adalah merupakan keadaan tambahan yang memberatkan pidana3 Unsur melawan hukumDalam perumusan delik unsur ini tidak selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis. Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat melawan hukum atau sifat pantang dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah atau rumusan kata yang disebut. Misalnya pasal 285 KUHP “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh di luar perkawinan”. Tanpa ditambahkan kata melawan hukum setiap orang mengerti bahwa memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan adalah pantang dilakukan atau sudah mengandung sifat melawan hukum. Apabila dicantumkan maka jaksa harus mencantumkan dalam dakwaannya dan oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila tidak dicantumkan maka apabila perbuatan yang didakwakan dapat dibuktikan maka secara diam-diam unsure itu dianggap melawan hukum yang dinyatakan sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu pengambilan barang orang lain dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum. C. Pertanggungjawaban Pidana1. Berdasarkan Hukum InggrisHukum Pidana Inggris menysaratkan bahwa pada prinsipnya setiap orang yang melakukan kejahatan dapat dipertangungjawabkan atas perbuatannya, kecuali ada sebab – sebab yang meniadakan penghapusan pertanggungjawaban yang bersangkutan atau “exemptions from liability.”Pertanggungjawaban pidana di Inggris berdasarkan pada kesalahan, yaitua. Intent Kesengajaanb. Recklesness Kesembronoanc. Negligence KealpaanSeseorang tidak dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana jika[2]a. Ia memperoleh tekanan fisik atau psikologi sedemikian rupa sehingga mengurangi pengendalian diri yang bersangkutan atau membatasi kebebasan pribadinya. Seperti gila, atau daya paksa; Termasuk ke dalam penghapusan pertanggungjawaban pidana di atas1 Insanity atau gila / sakit jiwaIsi ketentuan tentang Insanity / gila M’ naghten Rule mengandung makna 3 tiga hal sebahai berikuta Setiap orang dianggap sehat jiwanya, dan beban pembuktian terletak pada pihak tertuduhb Kebodohan semata – mata tidak merupakan suatu pembelaan yang cukup; harus ada apa yang disebut “some disease of mind”c “irresistible impulse” bukan suatu pembelaan, akan tetapi jika pembelaan tersebut dapat membuktikan bahwa tertuduh menderita abnormalitas pikiran yang mengakibatkan “diminished responsibility” maka hal ini hanyalah merupakan faktor yang meringankan Automatism atau gerak refleksDalam kasus gerak refleks ini justru perbuatan tertentu tidak dapat dipidana jika dilakukan secara tidak sengaja. Sebagai contoh, seorang sopir yang dituntut karena menjalankan kendaraan dalam keadaan mengantuk dan mengakibatkan seorang pejalan kaki mati; tidak dapat membela diri bahwa ia tertidur karena gerak refleks, sebab ia seharusnya berhenti memegang kemudi jika ia Drunkenness atau mabukAlasan mabuk dalam hukum pidana Inggris dibedakan dalam 2 dua macam, yaitua “involuntary drunkenness”, yatiu seseorang mabuk disebabkan karena perbuatan orang lain. Jika hal tersebut dapat dibuktikan maka alasan mabuk merupakan suatu “pembelaan yang mutlak” a complete defenseb “voluntary drunkenness”. Pada umumnya tidak diakui sebagai pembelaan yang bersifat mutlak; kecuali mabuknya itu mengakibatkna “gila” sementara waktu sehingga menghilangkan unsur niat yang disyaratkan oleh suatu tindak pidana4 Coercion atau daya paksaHukum Inggris membedakan “coersion” ini ke dalam 3 tiga bagian, yaitua “coercion by orders of superior” daya paksa karena perintah atasanb “coercion by threats” daya paksa karena suatu ancamanc “martial coercion” daya paksa oleh salah satu pihak dalam satu ikatan perkawinan5 Necessity atau keadaan darurat“necessity” atau “keadaan darurat” merupakan suatu upaya bela diri yang bersifat mutlak dalam hala Kasus “self – defense” asal beralasan menurut keadaan tertentub Untuk mencegah kejahatan dengan kekerasan6 Mistake or ignorance of fact atau kekeliruan atas faktaMistake atau kekeliruan atas fakta dapat merupakan pembelaan dalam situasi tertentu jika kekliruan tersebut beralasan. Sedangkan kekeliruan atas hukum bukan merupakan hukum pidana Inggris diakui adanya orang – orang tertentu yang memiliki “kekebalan“ atau “immunity” terhadap pertanggungjawaban pidana disebabkan karena status orang tersebut. Mereka adalaha The sovereign. Dikenal dengan istilah “the queen can do no wrong”; sehingga dengan sendirinya seorang ratu di Inggris tidak dapat Foreign Sovereign dan “Diplomat” memiliki “kekebalan” yang sama, akan tetapi “kekebalan” seorang diplomat dapat dicabut oleh Pemerintah Negara Corporation atau perkumpulan, pada umumnya dalam hal – hal tertentu dapat dipertanggungjawabkan secara Anak – anak di bawah usia 10 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan atas Acciden atau kecelakaanb. Pelaku termasuk golongan orang – orang yang tunduk pada peraturan khusus, seperti diplomat asing atau anak dibawah ke dalam penghapusan pertanggungjawaban pidana di atas1 Pengusaha atau yang memegang kekuasaan atau raja yang berdaulat2 Diploma asing3 Perkumpulan atau badan usaha secara terbatas4 Anak dibawah usia 10 tahun2. Berdasarkan Hukum Pidana IndonesiaPertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana.[3] Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuaan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat. 20Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak pidana. 21 Oleh karena itu dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan diandam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidannya sipembuat adalah asas”tidak dipidana jika tidak ada dikatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia mempunyai pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat liability based on fault, dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis, pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana ini hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan masalah apakah orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu bertanggungjawab itu harus memenuhi tiga syarat, yaitua. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patur dalam pergaulan Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan. D. Penyertaan1. Berdasarkan Hukum InggrisSebelum dikeluarkannya “the criminal law act”, penyertaan terdiri daria. A principal the first degreeb. A principal the second degreec. An accesories before theSetelah keluarnya The Criminal Law Act 1967, participation hanya terdiri dari 3 pihak, yaitua. Actual offender orang yang melakukan perbuatan itu sendiri atau melalui innocent agent;b. Aiding dan abetting orang yang membantu pada saat atau sewaktu kejahatan sedang berlangsung;c. Counselling or procuring orang yang menganjurkan.2. Berdasarkan Hukum Pidana Indonesiaa. Pembagian penyertaan menurut KUHP Indonesia adalah 1 Pembuat/dader pasal 55 yang terdiri dari a Pelaku plegerb yang menyuruh lakukan doenplegerc ang turut serta medeplegerd Penganjur uitlokker1 Pembantu / mendeplichtige pasal 56 yang terdiri dari a Pembantu pada saat kejahatan dilakukanb Pembantu pada saat kejahatan belum Percobaan1. Berdasarkan Hukum Pidana InggrisPercobaan dalam hukum pidana Inggris dipandang sebagai suatu misdemeanor pelanggaran hukum ringan. Untuk dapat dipidananya percobaan diperlukan pembuktian bahwa terdakwa telah berniat melakukan perbuatan melanggar hukum dan ia telah melakukan beberapa tindakan yang membentuk actus reus dari percobaan jahat yang dapat Berdasarkan Hukum Pidana IndonesiaPercobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut Pasal 53 a. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. b. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga. c. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. d. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai. Pasal 54 Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana. Kedua pasal tersebut tidak memberikan defenisi tentang apa yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan poging, yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan percobaan. Jika mengacu kepada arti kata sehari-hari, percobaan itu diartikan sebagai menuju ke sesuatu hal, akan tetapi tidak sampai kepada hal yang dituju itu, atau dengan kata lain hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai tetapi tidak selesai. Misalnya seseorang bermaksud membunuh orang tetapi orangnya tidak mati, seseorang hendak mencuri barang tetapi tidak sampai dapat mengambil barang itu,Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat 1 KUHP adalah bersumber dari MvT yang menyatakan “Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen.”Dengan demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan.Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila kapan percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikuta. Adanya niat/kehendak dari pelaku;b. Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada padanya, dengan akta lain suatu percobaan dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, hanya saja percobaan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran mencoba melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah diatur dalam UU drt No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat Loebby Loqman pembedaan antara kejahatan ekonomi dengan pelanggaran ekonomi ditentukan oleh apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja atau dengan tidak sengaja. Dianggap sebagai kejahatan ekonomi jika perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja, tetapi jika perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian pelaku maka hal ini dianggap sebagai pelanggaran ekonomi 19963.Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat dihukum, misalnya percobaan menganiaya Pasal 351 ayat 5, percobaan menganiaya binatang Pasal 302 ayat 3, dan percobaan perang tanding Pasal 184 ayat 5. DAFTAR PUSTAKA Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta Rineka Cipta, Cet. Ke VII, 2002Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Cet. Ke – Ii, Bandung Mandar Maju, 2000Romly Atmasasmita,Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, Jakarta Fikahati Aneska, Lamintang, Dasar – dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung Citra Aditya Nakti, 1997 [1] Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Cet. Ke – Ii, Bandung Mandar Maju, 2000, Hlm. 56. [2] Romly Atmasasmita,Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, Jakarta Fikahati Aneska, 2009, hlm. 93. [3] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta Rineka Cipta, Cet. Ke VII, 2002, hlm. 155.
Sehinggadari kedua Asas diatas dapat diketahui perbedaannya yaitu: 1) Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Inggris adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari putusan hakim (yurisprudensi).

Studi perbandingan hukum pidana pada dasarnya memperbandingkan berbagai sistem hukum yang ada. Dalam Black's Law Dictionary di definisikan " Comparative Jurisprudence is the study of the principles of legal science by the comparison of various systems of law " dalam hal ini yang diperbandingkan adalah dua atau lebih sistem hukum yang pidana positif Indonesia ialah berasal dari keluarga hukum CivilLaw System yang mementingkan sumber hukum dari peraturan perundangan yang ada dan berlaku di Indonesia. Sementara Inggris menganut sistem hukum Common Law System yang mengutamakan kebiasaan yang berlaku di sana. Kebiasaan tersebut dapat berupa Norma maupun putusan-putusan hakim sebelumnya. Selain perbedaan seperti yang tersebut diatas, kedua sistem hukum pidana kedua negara sebenarnya memiliki kesamaan. Di Indonesia dikenal hukum pidana adat yang sampai saat ini masih diakui dan dipakai dalam masyarakat. Dilihat dari sumber hukumnya, sebenarnya hukum pidana adat tersebut berasal dari kebiasaan yang berlaku dimasyarakat. Hal tersebut sama halnya dengan sumber hukum common law yang berasal dari kebiasaan yang ada di masyarakat. Setiap sistem hukum, pasti memiliki asas-asas yang kemudian dijabarkan dalam aturan-aturan hukumnya. Salah satu asas hukum yang sangat penting dan dimiliki oleh setiap sistem hukum adalah asas legalitas atau dikenal juga dengan asas " Nullum delictum, nulla poena, sina praevia lege poenali " .BAB II PEMBAHASAN A. Perbandingan Dan Perbedaan Asas Legalitas Indonesia Dengan Asas Legalitas Inggris Asas Legalitas adalah suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini juga melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya. Jadi berdasarkan asas ini, tidak satu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan. a. Asas Legalitas di Indonesia Asas legalitas di Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi " tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturanpidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan " .Konsekuensi dari pasal tersebut ialah bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak dapatdipidana; jadi dengan

13BAB II LANDASAN TEORI A. Perbandingan Sistem Peradilan Pidana Indonesia dan Inggris 1. Pengertian dan Konsep Sistem Peradilan Pidana Sistem peradilan pidana atau yang biasa dikenal dengan criminal justice system merupakan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan dasar pendekatan sistem. 16 Pendekatan sistem ini merupakan
PERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DENG ... jawaban hukum liability yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands ...di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan, bahwa suatu kegiatan atau ... 8 Perbandingan Hukum Pidana Indonesia Amer ... penegakan hukum di Amerika Serikat adalah tanggung jawab utama badan kepolisian lokal dan departemen sheriff, sedangkan kepolisian negara bagian memberikan pelayanan yang lebih ...sistem hukum yang ... 18 Perbandingan Hukum Pidana 001 ... Pengertian Perbandingan Hukum Pidana adalah Sebagai suatu disiplin ilmu sekaligus sebagai cabang ilmu hukum, pada awalnya dipahami sebagai salah satu metoda pemahaman sistem hukum, ... 11

Isuhukum yang dianalisis dalam tulisan ini adalah bagaimana ratio legis pengaturan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan di Belanda dan Inggris.

Tindak pidana yang bersifat ringan harus diselesaikan dengan mekanisme yang sama seperti tindak pidana yang berat, adalah salah satu bentuk ironi keadilan. Untuk mengurangi persoalan ironi keadilan tersebut, beberapa negara telah mengembangkan berbagai mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan untuk perkara-perkara yang bersifat ringan. Selain itu, sistem peradilan pidana di setiap negara secara umum juga hanya mampu memproses sebagian kecil dari seluruh tindak pidana yang terjadi sehingga penuntut umum harus melaksanakan diskresi dalam memutuskan perkara mana yang akan dilanjutkan atau dihentikan penuntutannya atau diselesaikan dengan mekanisme penyelesaian perkara pidana yang bersifat ringan di luar persidangan. Isu hukum yang dianalisis dalam tulisan ini adalah bagaimana ratio legis pengaturan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan di Belanda dan Inggris. Hasil dari analisis tersebut adalah ratio legis pengaturan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan adalah untuk mewujudkan keadilan melalui penyederhanaan sistem peradilan pidana dan penerapan asas kelayakan. Keadaan berbeda terjadi pada sistem peradilan pidana Indonesia karena sangat tidak efisien, tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat disampaikan rekomendasi bahwa asas kelayakan perlu segera diterima dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan cara mengadopsi teori subsosialitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 9a Sr. dan mengadopsi mekanisme penyelesaian perkara tindak pidana yang bersifat ringan di luar persidangan dalam bentuk transaksi dengan model komposisi, dengan disertai adanya modifikasi penambahan pokok-pokok pemikiran adaptasi bagi sistem hukum Indonesia. Keywords penyelesaian; perkara; pidana Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 1 ANALISIS PERBANDINGAN KEBIJAKAN PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PERSIDANGAN DI BELANDA, INGGRIS, DAN INDONESIA Ahmad Hajar Zunaidi 1*, Mokhammad Najih 21* Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, Indonesia, ahmadhajar_1979 2 Law Faculty, University of Muhammadiyah Malang, Malang, Indonesia najih Abstrak Tindak pidana yang bersifat ringan harus diselesaikan dengan mekanisme yang sama seperti tindak pidana yang berat, adalah salah satu bentuk ironi keadilan. Untuk mengurangi persoalan ironi keadilan tersebut, beberapa negara telah mengembangkan berbagai mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan untuk perkara-perkara yang bersifat ringan. Selain itu, sistem peradilan pidana di setiap negara secara umum juga hanya mampu memproses sebagian kecil dari seluruh tindak pidana yang terjadi sehingga penuntut umum harus melaksanakan diskresi dalam memutuskan perkara mana yang akan dilanjutkan atau dihentikan penuntutannya atau diselesaikan dengan mekanisme penyelesaian perkara pidana yang bersifat ringan di luar persidangan. Isu hukum yang dianalisis dalam tulisan ini adalah bagaimana ratio legis pengaturan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan di Belanda dan Inggris. Hasil dari analisis tersebut adalah ratio legis pengaturan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan adalah untuk mewujudkan keadilan melalui penyederhanaan sistem peradilan pidana dan penerapan asas kelayakan. Keadaan berbeda terjadi pada sistem peradilan pidana Indonesia karena sangat tidak efisien, tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat disampaikan rekomendasi bahwa asas kelayakan perlu segera diterima dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan cara mengadopsi teori subsosialitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 9a Sr. dan mengadopsi mekanisme penyelesaian perkara tindak pidana yang bersifat ringan di luar persidangan dalam bentuk transaksi dengan model komposisi, dengan disertai adanya modifikasi penambahan pokok-pokok pemikiran adaptasi bagi sistem hukum Indonesia. Kata Kunci Penyelesaian; Perkara; Pidana. I. PENDAHULUAN1Persoalan ironi keadilan, yang sering dinyatakan dengan kalimat bahwa hukum tumpul ke atas namun sangat tajam ke bawah, bukan hanya terkait disparitas sanksi pidana yang dijatuhkan yakni pelaku tindak pidana yang bersifat ringan dipidana dengan sangat berat, sedangkan pelaku tindak pidana yang berat dipidana dengan pidana yang ringan, namun juga terkait proses penyelesaian perkara tersebut. Tindak pidana yang bersifat ringan harus diselesaikan dengan mekanisme yang sama seperti tindak pidana yang berat, adalah salah satu bentuk ironi keadilan. Untuk 1mengurangi persoalan ironi keadilan tersebut, beberapa negara telah mengembangkan berbagai mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan untuk perkara-perkara yang bersifat ringan. Pertimbangan lain urgensi pengembangan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan adalah karena sistem peradilan pidana di setiap negara secara umum hanya mampu memproses sebagian kecil dari seluruh tindak pidana yang terjadi UN Office on Drugs and Crime, 2007. Jika suatu negara menyelidiki, menuntut, mengadili, dan menghukum seluruh pelaku tindak pidana, maka setiap tahap dari sistem peradilan pidana tidak akan mampu . pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 2 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr atau memproses seluruh tindak pidana yang terjadi tersebut UN Office on Drugs and Crime, 2007. Oleh karena itu, polisi dan penuntut umum yang akan membawa masuk pelaku tindak pidana ke dalam sistem peradilan pidana, harus melaksanakan diskresi dalam memutuskan perkara mana yang akan dilanjutkan atau dihentikan penuntutannya UN Office on Drugs and Crime, 2007. Jika dilanjutkan penuntutannya, perkara mana yang sanksi pidananya akan dijatuhkan melalui tahap persidangan judicial sanctions dan perkara mana yang sanksi pidananya tidak harus melalui tahap persidangan extrajudicial sanctions. Solusi sistematis terhadap persoalan ironi keadilan tersebut adalah pengembangan mekanisme penyelesaian perkara pidana yang bersifat ringan dalam sistem hukum pidana Indonesia yang pelaksanaannya bertumpu pada pengaturan diskresi penuntutannya oleh jaksa / penuntut umum. Oleh karena itu isu hukum yang dianalisis dalam tulisan ini adalah bagaimana ratio legis pengaturan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan di Belanda dan Inggris. Hasil dari analisis terhadap ratio legis pengaturan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan tersebut, diharapkan dapat memberikan suatu preskripsi berupa visi dan arah kebijakan baru pengembangan mekanisme penyelesaian perkara pidana yang bersifat ringan dalam sistem hukum pidana Indonesia. II. METODE PENELITIAN Jenis Penilitan Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian Hukum Normatif. Yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif yaitu suatu proses dimana proses tersebut bertujuan untuk menemukan sutu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang sedang dihadapi Peter Mahmud Marzuki, 2009. Alasan peneliti menggunakan jenis penelitian normatif karena peneliti berharap dapat memberikan atau menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai deskripsi dari penyelesaian isu hukum yang telah diambil. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian hukum harus dilakukan dalam melakukan penelitian, hal itu bertujuan untuk membantu peneliti dalam mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang sedang dicari jawabannya. Oleh karena itu maka penulis dalam hal ini menggunakan 3 pendekatan, yaitu a. pendekatan Undang-undang, yaitu dengan menelaah semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani atau pendekatan ini juga bisa disebut dengan pendekatan menggunakan legislasi dan regulasi Peter Mahmud Marzuki, 2009. b. Pendektan konseptuan, pendekatan ini akan mempelajari dari segi undang-undang, doktrin-doktrin didalam ilmu hukum serta meliha konsep-konsep Good Corporate Govermance yang terdapat dari berbagai literatur sehingga penelita akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi Peter Mahmud Marzuki, 2009. c. Pendekatan filosofis atau filsafat, pendekatan ini bukan bertujuan untuk menjawab dari permasalahan yang ada, tetapi lebih menuju ke menemukan permasalahan Karena sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar dan spekulatif. Pendekatan filsafat ini akan lebih membentuk Fundamental Research, yaitu dalam penelitian ini akan lebih memperoleh pemahaman yang lebih terhadap implikasi sosial dan dampak dari penerapan suatu undang-undang terhadap masyarakat atau suatu kelompok masyarakat yang didalam penelitian berkaitan dengan sejarah, filsafat, ilmu bahasa, ekonomi dan juga implikasi sosial serta potik terhadap pemberlakuan suatu aturan hukum yang ada. Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian ini peniliti menggunakan 3 jenis sumber bahan hukum, yaitu a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas, dimana bahan hukum ini terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam membuat P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 3 perundang-undangan dan putusan-putusan hakim jika dibutuhkan Peter Mahmud Marzuki, 2009. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, biasanya berupa buku-buku hukum atau referensi-refensi, jurnal-jurnal, karya tulis ilmiah, internet bahkan juga surat media masa yang keseluruhannya terkait dengan isu hukum yang ada Peter Mahmud Marzuki, 2009. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier juga merupakan bahan hukum yang juga harus dapat menjelaskan bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum ini dibutuhkan untuk menunjang bahan hukum lainnya. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum Metode pengumpulan data pada penelitian ini dengan melakukan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan sekunder mapun bahan hukum tersier. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara menelaah, membaca, mencatat segala hal-hal yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang dibahas selain itu juga membuat ulasan bahan-bahan pustaka yang terkait. Metode pengumpulan bahan hukum ini juga dapat dilakukan dengan cara documenter, yaitu dikumpulkannya referensi dari berbagai sumber baik jurnal, makalah, penelitian, buku-buku, Koran, majalah, internet dll terkait segala hal yang berkaitan dengan isu hukum yang diangkat. Peneliti dalam hal ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, hal pertama yang harus perlu dilakukan pula yaitu mencari dan mengumpulkan peraturan perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang di bahas Peter Mahmud Marzuki, 2009. Selain itu wawancara juga dapat dilakukan, hal ini bertujuan untuk menunjang tknik dokumenter dan memperoleh bahan hukum untuk menjawab isu hukum yang terjadi. Semua bahan hukum yang telah dikumpulkan tersebut kemudian diolah, dalam penlitian ini digunakan metode pengolahan dengan cara editing, yaitu dengan cara memeriksa kembali bahan-bahan hukum yang diperoleh baik dari segi kelengkapannya, kesesuaian, kejelasan, serta relevansinya dengan bahan hukum yang lain Saifullah, 2004. Metode Analisis Bahan Hukum Peneliti dalam menganalisa bahan hukum yang ada dengan cara mengklasifikasikan bahan-bahan hukum yang ada agar mudah dianalisis dan dikonstruksikan. Dalam hal ini karena jenis penelitian berupa penelitian normatif maka maka sistem analisisnya dengan cara diskriptif kualitatif yang merupakan analisa data-data yang tidak bisa dihitung. Kemudian bahan hukum yang sudah diperoleh kemudian dikelompokkan, diperiksa dan kemudian dilakukan pembahasan. Setelah itu bahan hukum kemudian akan di interpretasikan dengan metode interprertasi sistematis, gramatikal dan teleologis Asshiddiqie, 1996. III. HASIL DAN DISKUSI Persoalan mendasar yang harus diselesaikan dalam setiap sistem peradilan pidana adalah bagaimana mengatur bentuk diskresi tersebut dalam mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan. Sebagai gambaran bagaimana Belanda dan Inggris yang telah lama mengembangkan model-model diskresi kewenangan penuntutannya guna dibandingkan dengan di Indonesia, berikut ini ditunjukan model-model diskresi kewenangan penuntutan di Belanda dan Inggris sebagai berikut Belanda Belanda sebagai salah satu negara dengan tradisi European Civil Law dan menggunakan sistem penuntutan inquisitorial, memandang proses peradilan pidana sebagai proses yang harus dilakukan secara sah untuk menemukan kebenaran secara rasional dan tidak berpihak Luna & Wade, 2010. Oleh karena itu, Sistem hukum dipandang sebagai suatu instrumen rasional yang menerapkan metode ilmiah untuk menemukan kebenaran dan keadilan, sehingga hukum adalah science karena merupakan produk dari keputusan yang rasional yang dapat menghadirkan kebenaran dan memberikan keadilan melalui logika dan analisis yang seimbang Luna & Wade, 2010. Konsekuensi sistem penuntutan inquisitorial yang dianutnya, maka penuntut umum di Belanda memiliki pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 4 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr kuat dan dominan dalam setiap tahap proses pidana Crijns, 2011. Penuntut umum juga memiliki wewenang memerintahkan kepada polisi beberapa hal yang harus dilakukan dalam tahap penyidikan, dan penuntut umum juga berwenang untuk meneruskan atau tidak meneruskan kasus tersebut ke pengadilan Crijns, 2011. Asas-asas yang menjadi dasar diskresi kewenangan penuntutan tersebut adalah asas expediency yakni penuntut umum dapat tidak meneruskan penuntutan suatu perkara ketika kesalahan pelaku tersebut masih termasuk tindak pidana minor dan apabila peradilan tetap dilanjutkan justru tidak dapat memenuhi kepentingan public Luna & Wade, 2010. Selain asas expediency, dasar dikresi penuntutan yang lain adalah asas oportunitas opportuniteitsbeginsel, yang artinya penuntut umum tidak diwajibkan untuk selalu membawa suatu kasus ke pengadilan, ia juga boleh menyelesaikan suatu kasus atas kewenangannya sendiri atau memutuskan untuk menghentikan penuntutan kasus tersebut Crijns, 2011. Diskresi kewenangan penuntutan di Belanda diatur dalam hukum pidana materiil yakni Wetbook van Strafrecht Sr dan dalam hukum pidana formil yakni Wetbook van Strafvordering Sv. Penuntut umum dapat menghentikan penuntutan dengan tanpa syarat tertentu onvoorwardelijk sepot, Pasal 167 ayat 2 Sv. dan Pasal 242 ayat 2 Sv., maupun dengan syarat tertentu voorwardelijk sepot Pasal 167 ayat 2 Sv., Pasal 257 a-h Sv. . Sedangkan mekanisme penghentian penuntutan dengan syarat-syarat tertentu biasa dikenal dengan transaksi Pasal 74- 74c Sr.. Lebih dari 30% perkara pidana di Belanda diselesaikan dengan mekanisme transaksi ini Kempen, 2009. Di Belanda terdapat beberapa metode alternatif dari penuntutan yang bisa digunakan oleh penuntut umum, namun ada tiga metode yang sangat sering digunakan yakni non-prosecution, transaksi, dan penal order yang akan dibahas sebagai berikut a. Non-prosecution Non Prosecution artinya penuntut umum dapat memutuskan tidak melakukan penuntutan dalam hal jika dilakukan penuntutan mungkin tidak menghasilkan adanya hukuman bagi terdakwa, baik karena kurangnya alat bukti atau alasan teknis lainnya penghentian penuntutan karena alasan teknis atau prosedural Tak, 2006. Penuntut umum juga dapat tidak melakukan penuntutan berdasarkan asas kelayakan sebagaimana tercantum dalam Pasal 167 Sv. menentukan bahwa “penuntut umum harus memutuskan untuk melakukan penuntutan jika penuntutan dinilai penting berdasarkan hasil penyidikan. Penuntutan dapat dihentikan berdasarkan kepentingan publik”Tak, 2006. Penuntut umum dapat menunda dilakukannya penuntutan secara bersyarat dalam kasus-kasus tertentu. Penundaan penuntutan terhadap suatu kasus tidak ada dasarnya dalam undang-undang di Belanda, oleh karena itu secara teoretis membingungkan, tapi secara umum penundaan penuntutan tersebut bisa diterima. Syarat-syarat umum atau syarat-syarat khusus dilakukannya penundaan penuntutan tidak pernah ada, tapi dalam praktek penuntut umum menggunakan syarat-syarat yang sama seperti syarat-syarat yang dipergunakan oleh hakim ketika menjatuhkan penundaan hukuman Tak, 2006. Broad of Prosecutors-General menerbitkan panduan penuntutan nasional untuk mengharmoniskan penggunaan diskresi kewenangan penuntutan tersebut. Seluruh penuntut umum di Belanda diperintahkan mengikuti panduan tersebut, kecuali ada situasi dan kondisi tertentu dalam suatu kasus tertentu. Berdasarkan panduan tersebut, penuntut umum dapat menghentikan penuntutan suatu kasus dengan pertimbangan kepentingan umum, jika antara lain sebagai berikut Tak, 2003 1 Dapat diyakini bahwa tindakan lain yang bukan sanksi pidana telah cukup untuk diterapkan atau akan lebih efektif misalkan sanksi disiplin, administrasi, atau sanksi perdata lainnya. 2 Penuntutan terhadap tindak pidana itu dinilai tidak proporsional, tidak adil, atau tidak efektif terhadap kejahatan tersebut misalkan kejahatan itu tidak menimbulkan bahaya dan tidak layak untuk menjatuhkan sanksi pidana terhadapnya. 3 Penuntutan terhadap tindak pidana itu dinilai tidak proporsional, tidak adil, atau tidak efektif dengan pertimbangan melihat kondisi pelakunya misalkan kondisi usia dan kesehatan pelaku, prospek rehabilitasi, pelaku pertama kali. 4 Penuntutan tersebut bisa bertentangan dengan kepentingan negara, misalkan dengan P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 5 pertimbangan keamanan, kedamaian, dan ketertiban, atau jika penerapan hasil legislasi baru diperkenalkan. 5 Jika penuntutan dilakukan akan menjadi bertentangan dengan kepentingan korban misalkan kompensasi atau ganti rugi telah dibayarkan. Sedangkan penghentian penuntutan karena alasan teknis dapat disampaikan antara lain Tak, 2003 a Kesalahan dalam registrasi tersangka oleh Kepolisian. b Kekurangan alat bukti untuk melakukan penuntutan. c Adanya larangan untuk adanya suatu penuntutan. d Pengadilan tidak memiliki kompetensi hukum untuk mengadili perkara ini. e Perbuatan tersebut tidak digolongkan sebagai tindak pidana dalam undang-undang. f Pelaku tidak harus bertanggungjawab secara pidana karena adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf. Isu selanjutnya, terkait siapa yang seharusnya berwenang merumuskan kebijakan penuntutan. Isu ini sangat penting dalam konteks hubungan antara Eksekutif dan Organ Penuntutan. Ashworth menyampaikan bahwa yang berwenang adalah pihak yang memerankan quasi-judicial yakni kewenangan penuntut umum untuk secara independen mengambil keputusannya Tak, 2003. b. TransactionSejarah lahirnya wet tot vereenvoudiging van de rechtspleging in lichte stafzaken Undang-undang penyederhaan penyelenggaraan pemeriksaan pengadilan untuk kasus-kasus pidana ringan tanggal 5 Juli 1921, menunjukan bahwa pada masa itu, pemerintah Belanda sedang mengalami persoalan dengan peningkatan perkara yang masuk untuk diproses di pengadilan, sehingga terbit ketentuan lama Pasal 74 Sr. Pasal 82 KUHP tentang transaksi, yang mensyaratkan bahwa dengan membayar denda maksimum maka terdakwa dapat terhindar dari tuntutan hukum Remmelink, 2003. Pada tanggal 1 Mei 1983 kewenangan transaksi mengalami perluasan melalui Wet vermogenssancties Undang-Undang Negara Belanda tentang Sanksi terhadap Harta Benda Terpidana, sehingga jaksa/penuntut umum dapat menerapkan syarat-syarat sebagai imbalan penghentian penuntutan hukum tidak hanya untuk semua tindak pelanggaran, namun juga untuk kejahatan-kejahatan, terkecuali yang diancamkan pidana penjara lebih dari enam tahun Remmelink, 2003. Transaksi dapat dipahami sebagai salah satu bentuk diskresi kewenangan penuntutan yakni dengan cara jika terdakwa secara sukarela membayar sejumlah uang kepada kas negara atau memenuhi satu atau lebih persyaratan yang diajukan oleh penuntut umum dengan maksud menghindarkan penuntutan pidana lebih lanjut dan peradilan yang terbuka untuk umum Tak, 2006. Diterimanya tawaran transaksi dari penuntut umum sebenarnya menguntungkan terdakwa, karena ia terhindar dari peradilan yang terbuka untuk umum, dan transaksi tidak dicatat oleh pengadilan dalam catatan kriminal, dan ia tidak lama dalam situasi ketidakpastian tentang hukuman yang akan diterimanya. Pada sisi lain, dengan menerima transaksi maka terdakwa melepaskan hak-haknya untuk dihukum berdasarkan pengadilan yang bebas yang dijamin oleh Undang-Undang, Pasal 6 European Concention of Human Rights / ECHR Tak, 2006. Pasal 74 ayat 1 Sr. mewajibkan jaksa untuk melakukan penawaran transaksi sebelum dimulainya persidangan untuk perkara-perkara yang memenuhi syarat tertentu dapat diselesaikan melalui mekanisme transaksi atau afdoening buiten proces. Pasal 74 ayat 2 Sr. menguraikan syarat-syarat tertentu yang dapat diajukan oleh jaksa dalam penawaran transaksi tersebut. Pasal 74 ayat 3 Sr. menentukan kewajiban jaksa untuk menyampaikan informasi kepada pihak yang berkepentingan kepada korban misalkan tentang tanggal batas waktu dipenuhinya syarat-syarat transaksi tersebut. Selanjutnya Pasal 74a Sr. menegaskan bahwa terdakwa memiliki hak untuk menghapuskan kewenangan penuntutan jaksa dengan membayar sejumlah denda dan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi. Pasal 74b Sr, mengatur bahwa jika dalam waktu sebelum tiga bulan dari diterimanya kesepakatan transaksi oleh terdakwa, kemudian pengadilan memerintahkan agar dibuka kembali perkara itu untuk dilakukan proses penuntutan misalkan atas dasar pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 6 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr korban, maka proses penuntutan harus dilaksanakan. Akan tetapi mekanisme ini hanya berlaku untuk kejahatan. Terakhir Pasal 74c Sr. memberikan kewenangan transaksi oleh polisi atau penyidik khusus lainnya dengan batasan-batasan tertentu. Perlindungan hak warga negara untuk mendapatkan peradilan pidana yang cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam praktek penegakan hukum pidana di Belanda, dapat dipenuhi antara lain dengan bekerjanya mekanisme afdoening buiten proces ini dengan cukup luas, sehingga untuk tindak-tindak pidana yang bersifat ringan mayoritas diselesaikan dengan mekanisme tersebut. Perlindungan hak warga negara untuk mendapatkan peradilan pidana yang cepat, sederhana, dan biaya ringan terwujud dengan jelas dari bunyi ketentuan Pasal 74 ayat 1 Sr. yang secara tegas menyebutkan bahwa jaksa/penuntut umum harus mengajukan penawaran sebelum dimulainya sidang perkara yang bersangkutan. Namun hal ini tidak sekaligus menutup kemungkinan tersangka yang melihat bahwa terhadapnya tidak diajukan transaksi, dapat mengajukan permohonan untuk itu terhadap jaksa/penuntut umum Tak, 2006. Persetujuan consent yang diberikan tersangka terhadap penawaran transaksi dari penuntut umum adalah bentuk informed consent karena tersangka telah memahami betul akibat atau dampak dari pilihannya untuk menerima atau menolak tawaran transaksi, dan tersangka juga berada pada posisi yang bebas memilih, tidak boleh ada paksaan atau tekanan dari penuntut umum. Dengan demikian, kritik terhadap mekanisme transaksi dari aspek asas praduga tidak bersalah menjadi sangat lemah dan tidak relevan lagi Albrecht, 2001. c. Penal OrderBerdasarkan amandemen terhadap Wetbook van Strafvordering / Sv. KUHAP Belanda yakni dengan menambahkannya Bab IVA, maka “prosecution through penal orders” yang diatur dalam Pasal 257 a – h Sv. mulai berlaku pada tahun 2008. Selain itu, Pasal 12 Sv. juga diamandemen untuk membuka peluang pihak yang dirugikan agar bisa mengajukan keberatan kepada pengadilan banding dan meminta kasus dibuka Kembali penuntutannya di pengadilan Brants-Langeraar, 2007. Penghentian penuntutan dengan syarat-syarat tertentu dan mekanisme transaksi akan dihapuskan. Tidak lagi mengarahkan pada tercapainya “kesepakatan”, penuntut umum harus menyampaikan kepada tersangka satu atau beberapa “perintah pidana” penal orders atau OM afdoening door strafbeschikking, gambaran tindak pidananya, dan rencana usulan pembayaran denda. Sebelum melakukan hal tersebut, penuntut umum harus “membuktikan kesalahan” tersangka, walaupun pengakuan tersangka atas kesalahannya tidak penting. Denda lebih dari € dan pengenaan pidana kerja sosial disampaikan penuntut umum kepada tersangka untuk mendengar tanggapannya Brants-Langeraar, 2007. Perintah dari penuntut umum tersebut memiliki status hukum sama seperti putusan oleh pengadilan Kempen, 2009. Penuntut umum dapat mengajukan beberapa perintah berikut ini kerja sosial taakstraf dengan maksimum 180 jam, denda boete, pengasingan dari masyarakat onttrekking aan het verkeer, pembayaran kepada negara untuk korban, dan pencabutan surat ijin mengemudi ontzegging van de rijbevoegdheid. Penuntut umum tidak berwenang memerintahkan pidana penjara, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 257a Sv Kempen, 2009. Tersangka dapat menolak perintah pidana dari penuntut umum tersebut, dengan mengajukan keberatan kepada pengadilan distrik, yang kemudian akan mendengar kasus tersebut secara keseluruhan; jika tersangka tidak mengajukan keberatan tersebut dalam waktu dua minggu, maka perintah tersebut dapat dilaksanakan secepatnya Brants-Langeraar, 2007. Dengan diberikannya hak kepada tersangka untuk menerima atau menolak perintah pidana dari penuntut umum tersebut, maka dinyatakan bahwa hak tersangka untuk mendapatkan peradilan yang independen dan tidak memihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 European Convention of Human Rights ECHR, telah dipenuhi Jacobs & Kampen, 2014. Mekanisme Perintah pidana tersebut dapat diterbitkan untuk tindak pidana-tindak pidana yang sejenis dapat diselesaikan dengan mekanisme P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 7 transaksi, dan syarat-syarat serta pidana yang diperintahkan dalam praktek juga bisa sama persis dengan syarat-syarat yang diajukan pada mekanisme transaksi Jacobs & Kampen, 2014. Penuntut umum sekarang memiliki satu tindakan baru yang dapat digunakan terhadap tersangka, yakni penyitaan Surat Ijin Mengemudi tersangka untuk waktu paling lama enam bulan, polisi juga dapat menerbitkan perintah pidana denda maksimum €225,- Pasal 257 b Sv. Jacobs & Kampen, 2014. Dalam pembahasan di Parlemen rancangan amandemen Pasal 257 Sv. tersebut, Menteri Kehakiman Belanda Minister of Justice menyampaikan bahwa daripada menerapkan mekanisme plea bargaining, lebih tepat bila diperkenalkan sebuah sistem yang memberikan kewenangan kepada penuntut umum untuk mengenakan denda dalam bentuk perintah pidana Jacobs & Kampen, 2014. Mekanisme perintah pidana oleh penuntut umum tersebut akan mampu menangkap burung dengan satu batu pengadilan menjadi tidak terbebani dan akan ada pemidanaan yang lebih riil. Lebih lanjut lagi, akan mampu memecahkan persoalan terdakwa yang telah menerima mekanisme transaksi tapi masih belum juga membayar jumlahnya sekitar 25% ; karena transaksi meskipun secara substantif adalah denda, tapi secara formal kesepakatan tersebut tunduk pada hukum sipil, ketidakpatuhan terhadap kesepakatan transaksi akan dipecahkan dengan penuntutan itu sendiri atau dengan melalui mekanisme hukum perdata yang rumit Jacobs & Kampen, 2014. Dengan adanya sistem baru tersebut, pengenaan tuntutan denda adalah bagian dari proses penuntutan, dan denda itu sendiri adalah sebuah sanksi pidana, artinya penuntut umum dapat melaksanakan denda itu secara langsung Jacobs & Kampen, 2014. Mekanisme penal order juga tidak sempurna, banyak kritik yang disampaikan oleh para ahli. Dalam mekanisme penal order tidak dikenal adanya negosiasi sebelum diterbitkannya perintah tersebut, sehingga posisi tersangka adalah terjepit harus memilih menerima perintah tersebut atau menjalani proses persidangan. Dengan menerima perintah pidana tersebut, dapat diasumsikan tersangka telah bersalah, sedangkan jika memilih proses persidangan yang rumit dan lambat maka ia harus melawan rasa malu dan stigma negatif dari proses peradilan pidana. Oleh karena itu, mekanisme penal order sedikit banyak telah bertentangan dengan asas praduga tak bersalah atau presumption of innocent Jacobs & Kampen, 2014. Selain itu, dengan diberikannya kewenangan penuntut umum untuk mengeluarkan perintah pidana, maka akan terbentuk suatu badan penuntut umum yang memiliki kewenangan penuntutan, “mengadili”, dan pelaksanaan pemidanaan, seperti pada sistem peradilan pidana masa lampau yang telah lama hilang. Oleh karenanya, tidak ada kontrol external judisial yang mengatur situasi ketika perintah pidana tersebut dilaksanakan Jacobs & Kampen, 2014. Selain itu, semakin berat pula beban penuntut umum untuk bertindak jujur, transparan, tidak memihak. Menurut J. F. Nijboer, manfaat yang dapat dirasakan oleh negara Belanda, yang menerapkan mekanisme transaksi atau afdoening buiten proces secara meluas dalam hukum acara pidananya, sehingga hukum pidana seringkali dipandang dan digunakan sesuai asas subsidiaritas – hukum pidana sebagai ultimum remedium, adalah sebagai berikut 1. Semakin berkurangnya perkara yang masuk dalam sistem peradilan pidana. 2. Menurunnya frekuensi penggunaan pidana penjara. 3. Lebih pendeknya masa pidana penjara, yang mencerminkan adanya kebijakan pemidanaan yang berbeda atau praktek yang berbeda dari negara lain terkait pembebasan terpidana sebelum masa pemidanaan selesai.Nijboer, 1999 Hasil akhir dari semakin berkurangnya perkara yang masuk dalam sistem peradilan pidana, menurunnya frekuensi penggunaan pidana penjara, dan diperpendeknya masa pidana penjara adalah semakin berkurangnya penghuni penjara di Belanda. Hal itu merupakan fakta yang kontras dengan apa yang terjadi negara-negara Eropa lainnya. D. Downes mempublikasikan hasil penelitian yang sangat menarik pada tahun 1988, yang membandingkan kebijakan pidana di Inggris dan Wales di satu sisi dengan di Belanda pada sisi lain Nijboer, 1999. Berdasarkan data yang dipublikasikan Downes tersebut, terdapat perbedaan yang menyolok dalam angka rata-rata penggunaan pidana penjara antar negara-negara pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 8 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr Perbedaan tersebut semakin menyolok, dengan melihat pertentangan latar belakang yang pararel dengan meningkatnya angka kejahatan di kedua negara tersebut, artinya meskipun di Belanda angka kejahatan yang dilaporkan meningkat, hal yang sama juga terjadi di Inggris dan Wales, namun persentase perbandingan jumlah penghuni penjara dengan jumlah penduduk di Belanda tidak mengalami kenaikan secara signifikan Nijboer, 1999. Sedangkan di Inggris dan Wales, persentase perbandingan jumlah penghuni penjara dengan jumlah penduduk juga mengalami kenaikan secara signifikan seiring meningkatnya angka kejahatan yang dilaporkan. Meskipun terdapat beberapa indikasi yang menunjukan menurunnya kebijakan toleransi pemerintah Belanda terhadap kejahatan, namun negara ini tetap dinilai sebagai satu-satunya negara yang paling lembut reaksinya terhadap fenomena sosial yang disebut dengan kriminalitas Nijboer, 1999. Berdasarkan uraian kebijakan pengaturan diskresi kewenangan penuntutan di Belanda tersebut, maka terlihat adanya konsistensi tujuan sistem penuntutan inquisitorial yakni untuk menemukan kebenaran dan memberikan keadilan secara rasional, logis, dan analisis yang seimbang, dengan hasilnya yakni jaminan kelayakan penuntutan dan pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku dan tindak pidananya, bukan hanya memaksimalkan jumlah pemidanaan, dan kenyataan semakin bertambahnya beban penanganan perkara dan keterbatasan sistem peradilan pidana, baik kurangnya sumberdaya manusia maupun anggaran negara. Oleh karena itu, pengaturan diskresi kewenangan penuntutan di Belanda memberikan kesempatan bagi penuntut umum untuk memutuskan secara rasional, logis, dan analisis yang seimbang dalam setiap perkara yang ditangani melalui beragam bentuk pilihan metode penuntutan non prosecution, transaction, atau penal order yang sesuai asas kelayakan baik terhadap pelaku maupun tindak pidananya. Kondisi yang berbeda terjadi di Indonesia yang masih sangat kaku, baik pada level peraturan perundang-undangan ataupun kebijakan penuntutan yang masih mengejar jumlah penanganan perkara dan rata-rata pemidanaan, yang justru dampaknya semakin membebani sistem peradilan pidana. Berdasarkan rangkaian perubahan pertimbangan kebijakan pidana di Belanda berupa non prosecution, transaction dalam Pasal 74 Sr. dan dalam wet vermogensancties undang-undang tentang Sanksi Terhadap Harta Benda, dan penal order dalam revisi Wet Book van Strafvordering sehingga menghasilkan Pasal 257 a - h Sv. tersebut, maka telah terlihat ratio legis pengaturan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan adalah untuk mewujudkan keadilan melalui penyederhanaan proses peradilan pidana dengan menerapkan asas kelayakan yakni penuntut umum harus memperhatikan faktor kepentingan publik dalam memutuskan untuk melakukan penuntutan dan memilih mekanisme penuntutan yang layak dengan kesalahan pelaku. Manfaat penerapan asas kelayakan berupa penyederhanaan sistem peradilan pidana tersebut adalah menjadi lebih efektifnya sistem peradilan pidana. Penyederhanaan sistem peradilan pidana sangat dibutuhkan dalam keadaan munculnya berbagai persoalan terkait peningkatan jumlah dan kualitas perkara yang masuk untuk diproses di pengadilan, sehingga pengadilan tidak terbebani dengan perkara-perkara minor dan tetap ada pemidanaan yang riil dan layak dengan kesalahan dalam tindak pidana minor, dan sumber daya penegak hukum dapat lebih difokuskan untuk penanganan perkara-perkara yang lebih berat. Inggris dan Wales Berbeda dari Belanda dengan sistem penuntutan inquisitorial, Inggris dan Wales adalah negara-negara dengan sistem penuntutan adversarial sebagaimana dalam tradisi hukum common law yang menerima asas kelayakan dan asas oportunitas sehingga dasar pelaksanaan diskresi kewenangan penuntutan tidak hanya diberikan kepada penuntut umum ataupun pejabat seniornya, tetapi konsisten di dalam sistem hukumnya. Bahkan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan penuntutan, tidak secara eksklusif menjadi tanggungjawab penuntut umum. Banyak sekali keputusan untuk tidak melakukan penuntutan diambil oleh polisi sehingga sulit dilakukan kontrol pengawasannya. Polisi diberikan kewenangan untuk tidak melakukan tindakan lebih lanjut, memberikan peringatan informal, atau peringatan yang tercatat P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 9 tanpa harus memberitahukannya kepada CPS Crown Prosecution ServiceKyprianou, Konsistensi diskresi kewenangan penuntutan dalam sistem hukum di Inggris dapat dilihat pada sejarah sistem penuntutan di Inggirs. Inggris awalnya tidak memiliki lembaga yang khusus berfungsi melakukan penuntutan, penuntutan juga dapat dilakukan oleh individu personal atau privat, sehingga menimbulkan persoalan efisiensi dan kesulitan pembuktian kesalahan dan pemidanaan pelaku, dan seringkali memancing hakim untuk aktif bertindak seperti penuntut umum yang melanggar prinsip judicial impartiality Summers, 2007. Berdasarkan Marian Statutes 1555 dibentuk Justices of the Peace JPs sebagai penuntut umum, yang dipilih oleh Royal Commission untuk setiap daerah dan setiap kota dengan tugas melakukan penegakkan hukum terhadap kejahatan di Inggris Langbein, 1973. Setiap individu JPs juga memiliki tanggungjawab yang sangat penting dalam proses penghentian penyelesaian perkara pidana di luar persidangan, untuk memerintahkan penahanan tersangka, melakukan penuntutan sampai ke persidangan, dan melakukan pembebasan tersangka yang ditahan berdasarkan penundaan persidangan atas jaminan Langbein, 1973. Selain itu, Polisi juga bertanggungjawab terhadap penuntutan suatu perkara yang dapat dilakukannya dengan menunjuk beberapa pengacara lokal yang berpengalaman, sehingga tidak ada keseragaman dan kepastian pengawasan kebijakan penuntutan secara nasional Langer et al., 2016. Baru pada Oktober 1986, Crown Prosecution Service melaksanakan fungsinya untuk melakukan penuntutan di Inggris, sebagai reaksi terhadap rangkaian tindakan oleh Polisi yang mencederai keadilan dalam manipulasi bukti-bukti dan penekanan oleh Polisi, sehingga apabila Polisi akan melakukan penuntutan maka harus diuji dulu oleh CPS, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat 8 Prosecution of Offences Act Tahun 1985 Luna & Wade, 2010. Attorney General dapat menghentikan proses penuntutan yang sedang berjalan yang biasanya diinisiasi oleh pihak pribadi atau privat apabila penuntutan tersebut dinilai bertentangan dengan kepentingan kerajaan dan tidak terlalu penting Krauss, 2012. Kewenangan Attorney General untuk menghentikan penuntutan yang sedang berjalan tersebut merupakan instrumen prosedural yang tidak dapat diuji oleh pengadilan berdasarkan teori the separation of prosecutorial powers bahwa eksekutif memiliki wewenang kontrol terhadap penanganan perkara dan berdasarkan kondisi faktual semakin beratnya beban sistem peradilan pidana sehingga penuntut umum harus memprioritaskan penuntutan antara beberapa perkara Tak, 2006. Oleh karena itu, sistem penuntutan di Inggris menarik untuk dicermati. Tidak seperti sistem penuntutan di negara-negara Eropa Barat lainnya, Crown Prosecution Service berada pada posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan Kepolisian, dalam hal penggunaan diskresi kewenangan penuntutan untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan. Padahal sesungguhnya berdasarkan tradisi common law, sistem penuntutan di Inggris dan Wales memberikan ruang yang luas bagi penerapan diskresi kewenangan penuntutan untuk dihentikannya penuntutan suatu kasus dengan alasan kepentingan publik. Diskresi kewenangan penuntutan diatur melalui mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan melalui mekanisme cautioning, reprimands and warning, dan deferred prosecution agreements berikut ini a. Mekanisme cautioning dan reprimands and warningPenuntut umum di Inggris, berwenang menghentikan penuntutan suatu kasus dengan pertimbangan kepentingan publik, tapi penelitian menunjukan bahwa penuntut umum kurang sukses dalam melaksanakan diskresi kewenangannya tersebut. M. Mc Conville, A. Sanders dan Leng Kyprianou, menemukan bahwa CPS jarang menghentikan penuntutan dengan dasar kepentingan publik, tapi saat ini, penghentian penuntutan oleh CPS mulai meningkat, namun seringkali dilakukan untuk kasus yang tidak penting dan sering juga didasarkan atas penghitungan biaya. Hal itu terjadi karena kontrol polisi atas informasi dan konstruksi kasusnya dibangun menjadi benar-benar sulit bagi penuntut umum untuk mengidentifikasi kasus-kasus yang dapat diberikan peringatan saja pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 10 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr 2020.Kyprianou, Beberapa faktor yang dapat ditunjuk sebagai dasar diberikannya peringatan atau tindakan lain pengganti tidak dilakukannya penuntutan lebih lanjut seringkali dihapuskan dalam file, atau fakta-fakta tersebut tidak ditunjukan oleh polisi karena gagalnya memberikan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dalam tahap penyidikan McConville et al., 1996. Berdasarkan Pasal 23 Criminal Justice Act tahun 2003, syarat-syarat dan kriteria untuk dapat dilaksanakannya diskresi kewenangan penuntutan untuk menuntut atau tidak melakukan penuntutan telah dimodifikasi yakni 1 Penegak hukum jaksa dan polisi memiliki bukti-bukti bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana. 2 Adanya keyakinan penuntut umum bahwa terdapat cukup bukti untuk menuntut terdakwa karena melakukan tindak pidana dan peringatan bersyarat sebelumnya telah diberikan kepada terdakwa terkait tindak pidana yang dilakukannya. 3 Pelaku telah mengakui kepada polisi atau jaksa bahwa ia telah melakukan tindak pidana. 4 Penegak hukum polisi dan jaksa sebelumnya telah menjelaskan pengaruh peringatan bersyaratnya kepada pelaku dan memperingatkan pelaku tentang akibat gagalnya untuk memenuhi segala persyaratan yang dilampirkan dalam peringatan adalah bisa membawa dilakukannya penuntutan terhadap tindak pidananya. 5 Pelaku menandatangani dokumen peringatan yang berisi a. Detail tindak pidananya. b. Pengakuan oleh pelaku bahwa ia telah melakukan tindak pidana tersebut. c. Pelaku setuju untuk diberikan peringatan bersyarat tersebut, dan d. Rincian syarat-syarat yang dilampirkan dalam peringatan tersebut. Syarat-syarat tersebut adalah untuk menjamin bahwa pelaku benar-benar telah bersalah dan pasti akan dihukum jika dilakukan penuntutan, karena surat peringatan tersebut sebenarnya adalah pengakuan bersalah yang bisa dicatat oleh pengadilan. Mekanisme peringatan ini dipergunakan oleh polisi untuk menyelesaikan hampir 30% dari seluruh kasus yang dilaporkan kepada polisi Tak, 2006. Di Inggris, untuk mengatur penggunaan penyelesaian perkara di luar persidangan, maka Pemerintah Inggris telah menerbitkan Code for Crown Prosecutors tahun 2000 berdasarkan Pasal 10 the Prosecution of Offences Act POA tahun 1985. Code for Crown Prosecutors tersebut menentukan bahwa sebelum melakukan penuntutan, ada dua syarat yang harus dipenuhi yakni terpenuhinya tes pembuktian the evidential test sehingga ada prospek keyakinan terbuktinya dakwaan tersebut secara realistis realistic prospect of conviction, serta penuntutan tersebut hanya boleh dilakukan jika kepentingan publik menghendaki the public interest test. Syarat tes kepentingan publik tersebut meliputi tingat kesalahan pelaku peran dalam keturutsertaan, adanya perencanaan, keadaan bahaya pada korban, dampaknya pada masyarakat. Selain itu, penuntut umum harus memperhatikan apakah penuntutan adalah respon yang layak bagi tindak pidana tersebut yakni penuntutan yang akan dilakukan harus sesuai dengan cara-cara yang konsisten dengan prinsip-prinsip penanganan perkara yang efektif. Kriteria-kriteria lain untuk dapat diterapkannya mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan adalah berdasarkan the Crime and Disorder Act tahun 1998, yakni polisi dapat menghentikan proses hukum acara pidana lebih lanjut dengan menerbitkan Surat “Peringatan” cautioning terhadap pelaku dewasa, dan Surat “Teguran dan Peringatan” reprimands and warning terhadap pelaku remaja. “Peringatan” terhadap pelaku dewasa tersebut diberikan oleh polisi jika telah ada bukti yang cukup sebagai dasar dilakukannya penuntutan, pelaku mengakui kesalahannya, dan pelaku menyetujui prosedur yang ditetapkan. Selain itu pelakunya juga harus orang yang sudah cukup tua atau lemah, sakit mental, menderita beberapa penyakit fisik, atau menderita beberapa penyakit mental. b. Deffered Prosecution Agreements DPABerdasarkan Crimes & Court Act tahun 2013 yang berlaku sejak Februari 2014, maka penuntut umum dapat menerapkan mekanisme Deffered Prosecution Agreements DPA untuk menyelesaikan perkara suap, korupsi cheating the public revenue, fraud, dan tindak pidana ekonomi lainnya yang dilakukan oleh korporasi atau badan hukum privat, karena mekanisme DPA ini tidak dapat diterapkan kepada subyek hukum orang natural person. Crown Prosecution Service P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 11 CPS dan Serious Fraud Office SFO menerbitkan DPA Code of Practise sebagai pedoman bagi penuntut umum untuk melaksanakan mekanisme DPA tersebut, yang pada intinya bahwa semua sanksi keuangan yang diajukan oleh penuntut umum dalam DPA harus benar-benar dapat diperkirakan sebanding dengan sanksi yang akan dijatuhkan oleh hakim saat terdakwa mengakui kesalahannya court conviction guilty plea, bukan sanksi yang akan dijatuhkan oleh hakim pada terdakwa ketika ia kalah dalam pembuktian court conviction contested trial. Kesepakatan dalam DPA dapat tercapai antara penuntut umum dan badan hukum korporasi sehingga penuntut umum dapat menunda proses penuntutan dalam waktu tertentu sampai badan hukum tersebut mampu memenuhi sejumlah persyaratan seperti penyerahan keuntungan illegal, membayar denda, ganti rugi, dan biaya-biaya, bekerjasama dalam penuntutan terhadap orang pribadi yang terlibat, implementasi program-program kepatuhan perusahaan pada peraturan yang dilaksanakan dalam pengawasan penuntut umum. Kesepakatan yang tercapai antara penuntut umum dengan badan hukum tersebut harus mendapatkan persetujuan oleh hakim. Mekanisme DPA memberikan fungsi checks and balances yang tepat kepada hakim pada tahap persiapan pembahasan dan hasil akhir kesepakatan dalam DPA tersebut Organisation for Economic Cooperation and Development OECD, 2017. Persetujuan oleh hakim tersebut dibutuhkan untuk menguji terpenuhinya kepentingan publik dalam kesepakatan DPA tersebut, dan sanksi pidana yang disepakati dalam DPA benar-benar telah proporsional dengan kesalahan badan hukum Organisation for Economic Cooperation and Development OECD, 2017. Asas kelayakan muncul dalam norma Pasal 45 Schedule 17 part 1, angka 7 dan 8 Crimes & Court Act tahun 2013 dan menjadi pedoman bagi hakim yang menilai poin-poin kesepakatan antara penuntut umum dan badan hukum yakni terpenuhinya kepentingan publik dalam kesepekatan DPA tersebut untuk mewujudkan keadilan. Asas kelayakan juga muncul dalam Deferred Prosecution Agreements Code of Practice yang diterbitkan oleh CPS dan SFO, yakni keharusan bagi Penuntut umum untuk benar-benar memperhatikan kepentingan publik public interest test, selain terpenuhinya alat bukti kesalahan badan hukum evidential test, dalam memutuskan untuk menerapkan mekanisme DPA tersebut. Manfaat yang dapat dirasakan karena menerapkan mekanisme DPA tersebut adalah terhindarnya dari proses persidangan pidana yang lama dan tidak pasti hasilnya, biaya mahal, dan rumit, dan juga sebagai imbalan kepada perusahaan karena melaporkan sendiri tindak pidana tersebut sehingga perusahaan terhindar dari kerugian-kerugian yang timbul secara tidak disengaja seperti hancurnya harga saham yang berdampak pada pekerja yang tidak bersalah, investor, pensiunan, dan pelanggan. Kelemahan penggunaan mekanisme DPA tersebut adalah lemahnya pengawasan terhadap proses pengungkapan fakta-fakta secara menyeluruh karena awal penyelidikan perkara ini sering dimulai dari perusahaan sendiri yang melaporkan, sehingga rentan terhadap tindakan disembunyikannya fakta-fakta tertentu yang relevan Dunn, Pada tahun 2013, dalam konteks tindak pidana dengan pelaku orang nature person, perlindungan hak korban seperti hak mendapatkan pemulihan dampak tindak pidana atau ganti rugi dan hak meminta dibukanya kembali penghentian penuntutan oleh penuntut umum telah dinyatakan berlaku Novokmet, 2016. Perlindungan hak korban untuk meminta dibukanya kembali penuntutan tersebut dinyatakan berlaku dalam pernyataan putusan Pengadilan Banding dalam kasus R v Christopher Killick 2011, EWCA Crim 1608, yang menyatakan bahwa keputusan untuk tidak melakukan penuntutan dalam kenyataannya merupakan hak korban. Pada level internasional, terdapat Pasal 11 Directive 2012/29/EU dari Parlemen Eropa dan Konsul Eropa tanggal 25 Oktober 2012 yang dengan tegas melindungi hak korban untuk meninjau ulang keputusan dihentikannya penuntutan suatu perkara Novokmet, 2016. Selain ketentuan Pasal 11 Directive 2012/29/EU, terdapat juga ketentuan Pasal 14 ayat 1 ICCPR yang menegaskan bahwa setiap orang wajib sama di hadapan pengadilan, dalam penentuan sanksi pidana terhadapnya, atau hak-hak dan kewajiban-kewajibanya pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 12 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr berdasarkan hukum, setiap orang harus mendapatkan peradilan yang fair, terbuka untuk umum, independen, dan tidak memihak berdasarkan hukum. Perlindungan hak korban untuk meminta dibukanya kembali penuntutan kepada hakim merupakan bentuk perwujudan prinsip fair trial karena hak untuk mendapatkan proses persidangan yang adil fair trial bukan absolut menjadi hak tersangka namun juga hak setiap warga negara, korban, dan saksi-saksiBrants & Franken, 2009. Berdasarkan Pasal 14 ayat 1 ICCPR, pertimbangan putusan Pengadilan Banding dalam kasus R v Christopher Killick 2011, Pasal 11 Directive 2012/29/EU, dan Pasal 45 Schedule 17 Crimes & Court Act tahun 2013 tersebut, maka semua mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku di Inggris dan Wales dapat dinilai tidak bertentangan dengan prinsip fair trial. Semua mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan tersebut tetap menjamin kebebasan semua pihak tersangka, korban, masyarakat, dan penuntut umum untuk memilih langkah-langkah terbaik bagi kepentingan mereka dalam suatu sistem peradilan pidana. Sejarah sistem penuntutan di Inggris dan Wales memperlihatkan bahwa mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan telah melekat dalam sistem hukumnya melalui praktek-praktek penanganan setiap perkara dan telah berkembang atau disempurnakan melalui pengaturannya dengan beberapa undang-undang seperti Marian Statutes tahun 1555, Prosecution of Offences Act tahun 1985, Criminal Justice Act tahun 2003, Crimes & Court Act tahun 2013, Code for Crown Prosecutors 2013, Deferred Prosecution Agreements Code of Practice 2013. Berdasarkan rangkaian perubahan pertimbangan kebijakan pidana mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan tersebut, maka terlihat ratio legis pengaturan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan adalah untuk mewujudkan keadilan melalui penyederhanaan sistem peradilan pidana dan penerapan asas kelayakan yakni keharusan bagi Penuntut umum untuk benar-benar memperhatikan kepentingan publik public interest test dalam memutuskan menerapkan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan sehingga sumber daya penegak hukum dapat lebih difokuskan untuk penanganan perkara-perkara yang lebih berat. Indonesia Indonesia sebagai negara yang pernah mengalami masa penjajahan oleh Belanda, sebagai konsekuensi asas konkordansi maka sistem hukum yang berlaku di Indonesia saat ini sebagian besar masih merupakan warisan negara Belanda, termasuk sistem penuntutannya. Sama seperti Belanda, sistem hukum Indonesia juga dapat digolongkan sebagai mengikuti tradisi civil law dan dengan sistem penuntutan inquisitorial. Oleh karena itu, sistem hukum Indonesia mengikuti filosofi penuntutan mandatori, yang biasa dikenal implementasinya dengan asas legalitas. Dengan demikian, diskresi kewenangan penuntutan dalam sistem hukum Indonesia yang menganut asas legalitas adalah sebuah pengecualian dari aturan umum berdasarkan asas legalitas, maka keputusan untuk tidak melakukan penuntutan relatif dilakukan dengan kontrol yang sangat ketat jika dibandingkan dengan negara-negara yang mengikuti tradisi common law seperti Amerika, Inggris dan Wales. Pengaturan kewenangan penuntutan di Indonesia dapat ditemukan pada Pasal 1 angka 6 huruf a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP yang menyebutkan jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kemudian Pasal 1 angka 6 huruf b. KUHAP menyebutkan Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Norma Pasal 1 angka 6 huruf b. KUHAP tersebut sama persis terjadi duplikasi dengan Pasal 13 KUHAP. Selanjutnya dalam Pasal 14 KUHAP tentang kewenangan penuntut umum pada poin g dan h disebutkan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan dan menutup perkara demi kepentingan hukum. Sedangkan dalam Pasal 140 ayat 2 huruf a. menyebutkan bahwa dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 13 karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Diskresi kewenangan penuntutan baru dapat ditemukan dalam Pasal 35 huruf c. Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, yang memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk menghentikan suatu perkara atas dasar kepentigan umum asas opportunitas. Dari semua ketentuan penuntutan dalam KUHAP maupun dalam Undang-undang lainnya, telah jelas bahwa jaksa/penuntut umum saat ini tidak memiliki diskresi kewenangan untuk menghentikan ataupun mengenyampingkan perkara karena perkara tindak pidana tersebut bersifat ringan. Jorg-Martin Jehle menjelaskan sebagai berikut ... in accordance with strict principle of legality the prosecuting authority merely has the function of preparing a case for court. Here the input is identical to the out put; all cases have to be brought before a court - except evidentially insufficient cases etc. Which can, of course, be dropped in accordance with the principle of legalityJehle, 2005. Penulis sependapat dengan Jorg-Martin Jehle tentang batasan dan pengertian ruang lingkup asas legalitas dengan asas oportunitas, bahwa suatu kasus tindak pidana yang dihentikan karena kurangnya alat bukti, terdakwa meninggal dunia, mematuhi asas ne bis in idem, dan karena kedaluarsa adalah alasan penghentian penuntutan yang dilakukan masih dalam kerangka asas legalitas atau masih sesuai dengan asas legalitas. Sedangkan penghentian penuntutan suatu kasus tindak pidana yang didasarkan pada asas oportunitas adalah penghentian suatu kasus tindak pidana berdasarkan asas kelayakan atau expedience principle yang menjadikan kepentingan umum sebagai pertimbangan utama reason of public interest dan berdasarkan teori subsosialitas Pasal 9a Sr. yakni kecilnya arti suatu perbuatan yang dapat dilihat dari tingkat kerugian, kerusakan, bahaya atau tercelanya suatu perbuatan pidana dan perilaku pelaku, serta kondisi-kondisi pada waktu tindak pidana dilakukan, dijadikan suatu ukuran patut tidaknya suatu perbuatan tersebut untuk dipidana. IV. KESIMPULAN Ciri dianutnya asas legalitas secara kaku dapat kita temukan di Indonesia yakni penuntut umum hanya berwenang untuk melaksanakan fungsi menyiapkan perkara untuk disidangkan di pengadilan, sehingga input dan output dalam sistem peradilan pidana adalah identik, karena semua perkara harus dibawa ke depan persidangan kecuali kasus tersebut tidak cukup bukti, atau perkara itu harus ditutup demi hukum yakni alasan kedaluarsa, ne bis in idem, dan terdakwa telah meninggal dunia, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 huruf h KUHAP dan Pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP. Diskresi kewenangan penuntutan yang terwujud dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang berbunyi “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum” tersebut, hanyalah implementasi asas oportunitas secara negatif. Rumusan Pasal 35 huruf c tersebut memperlihatkan adanya kewenangan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara sebagai implementasi asas oportunitas yang diterima dalam hukum acara pidana Indonesia, namun asas oportunitas tersebut terwujud secara negatif karena pengaturannya sangat dibatasi hanya Jaksa Agung saja yang boleh mengesampingkan perkara dengan alasan “kepentingan umum”. Selain itu, pertimbangan subsosialitas juga belum diadopsi dalam hukum pidana kita. Implementasi asas oportunitas secara negatif juga dapat dilihat dalam Pasal 82 KUHP yang mengatur tentang mekanisme transaksi di Indonesia yakni kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja menjadi hapus, kalau dengan sukarela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya. Apabila disamping pidana denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai perampasan harus diserahkan pula, atau harganya harus dibayar menurut taksiran pejabat yang ditunjuk. Selain itu, dalam Pasal 113 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, pada ayat 1 menyebutkan bahwa untuk kepentingan penerimaan pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 14 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr atas permintaan Menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan. Kemudian pada ayat 2 disebutkan bahwa penghentikan penyidikan tersebut jika yang bersangkutan telah melunasi bea masuk yang tidak atau kurang bayar, dan membayar denda sebagai sanksi administrasi yang besarnya empat kali jumlah bea masuk yang tidak atau kurang dibayar. Menurut pendapat penulis, kewenangan penghentian penyidikan ini oleh Jaksa Agung merupakan salah satu bentuk transaksi selain dari Pasal 82 KUHP, yang dilaksanakan atas dasar asas oportunitas. Namun sekali lagi terwujud dalam bentuk negatif karena harus dilakukan berdasarkan permintaan Menteri Keuangan, dan hanya Jaksa Agung yang berwenang bukanlah setiap personil jaksa. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa mekanisme afdoening buiten proces atau transaksi yang diatur dalam Pasal 82 KUHP ini masih sepadan dengan Pasal 74 Sr., yakni penerapannya masih terbatas pada pelanggaran yang diancam pidana denda. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 82 KUHP, mekanisme transaksi ini tidak bisa dilakukan terhadap tindak pidana yang bersifat ringan atau kejahatan kecil atau yang ringan akibatnya. Sebagai penutup bagian ini, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan analisis pertimbangan kebijakan pengembangan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan di Belanda dan Inggris tersebut, maka terlihat ratio legis pengaturan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan adalah untuk mewujudkan keadilan melalui penyederhanaan sistem peradilan pidana dan penerapan asas kelayakan. Keadaan berbeda terjadi pada sistem peradilan pidana Indonesia karena sangat tidak efisien, tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Solusi atas persoalan tersebut adalah penyederhanaan sistem peradilan pidana dan penerapan asas kelayakan yakni keharusan bagi Penuntut umum untuk benar-benar memperhatikan kepentingan publik public interest test dalam memutuskan menerapkan mekanisme peneyelesaian perkara pidana di luar persidangan sehingga sumber daya penegak hukum dapat lebih difokuskan untuk penanganan perkara-perkara yang lebih berat. V. SARAN Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat disampaikan rekomendasi bahwa asas kelayakan perlu segera diterima dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan cara mengadopsi teori subsosialitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 9a Sr. dan mengadopsi mekanisme penyelesaian perkara tindak pidana korupsi di luar persidangan dalam bentuk transaksi dengan model komposisi, dengan disertai adanya modifikasi penambahan pokok-pokok pemikiran adaptasi bagi sistem hukum Indonesia VI. REFERENSI Albrecht, H. J. 2001. A Comparative Study of European Criminal Justice Systems. South African Law Commission. Asshiddiqie, J. 1996. Pembaharuan Hukum Pidana Studi tentang Bentuk-bentuk Pidana dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional. Angkasa. Brants-Langeraar, C. H. 2007. Consensual Criminal Procedures Plea and Confession Bargaining and Abbreviated Procedures to Simplify Criminal Procedure. Electronic Journal of Comparative Law EJCL, 111, 21. Brants, C., & Franken, S. 2009. The Protection of Fundamental Human Rights in Criminal Process. Utrecht Law Review, 52, 56. Crijns, J. H. 2011. Witness Agreements in Dutch Criminal Law. Seminar Internasional Dan Focus Group Discussion Tentang The Protection of Whistleblowers as Justice Collaborators, 2. Dunn, G. 2015 Year End Update on Corporate Non Prosecution Agreements and Deferred Prosecution Agreements. Jacobs, P., & Kampen, P. van. 2014. `Dutch `ZSM Settlements` in the Face of Procedural Justice The Sooner the Better`. Utrecht Law Review, 104, 75. P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 15 Jehle, 2005. The Function of Public Prosecution from a European Comparative Perspective How International Research Can Contribute to the Development of Criminal Justice. Konferensi UNDP-POGAR, 7. Kempen, P. H. van. 2009. The Protection of Human Rights in Criminal Law Procedure in The Netherlands. Electronic Journal of Comparative Law, 132, 12. Krauss, R. 2012. The Theory of Prosecutorial Discretion in Federal Law Origin and Developments. Seton Hall Circuit Review, 61, 2. Kyprianou, D. Comparative Anaysis of Prosecution Systems Part II The Role of Prosecution Services in Investigation and Prosecution Principles and Policies. Langbein, J. H. 1973. The Origins of Public Prosecution at Common Law. American Journal Of Legal History, XVII, 318. Langer, Maximo, Sklansky, & Alan, D. 2016. Prosecutors and Democracy A Cross-Nation Study. Cambridge University Press. Luna, E., & Wade, M. 2010. Prosecutors as Judges. Washington and Lee Law Review, 674, 1429. McConville, M., Sanders, A., & Leng, R. 1996. Prosecution in Common Law Jurisdictions. Aldershot. Nijboer, J. F. 1999. Introduction To Dutch Law 3rd Kluwer Law International. Novokmet, A. 2016. The Right of a Victim to a Review of a Decision not to Prosecute as Set out in Article 11 of Directive 2012/29/EU and an Assessment of its Transposition in Germany, Italy, France and Croatia. Utrecht Law Review, 121, 87. Organisation for Economic Cooperation and Development OECD. 2017. Implementing The OECD Anti-Bribey Convention, Phase 4 Report United Kingdom. Organisation for Economic Cooperation and Development. Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum, Edisi Pertama Cetakan Kelima. Kencana. Remmelink, J. 2003. Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padananya dalam Kitab Undang-Undang Hukum, translated Tristam Pascal Moeljono Pidana Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Saifullah. 2004. Konsep Dasar Metode Penelitian Dalam Proposal Skripsi. UIN Malang. Summers, S. J. 2007. Fair Trials, The European Criminal Procedural Tradition and The European Court of Human Rights. Hart Publishing. Tak, P. J. P. 2003. The Dutch Criminal Justice System Organization and Operation 2nd Editio. Boom Juridische. Tak, P. J. P. 2006. Methods of Diversion Used By the Prosecution Service in the Netherlands and Other Western European Countries. 135th International Senior Seminar Visiting Experts` Papers, Hosted by the United Nations Asia and Far East Institute UNAFEI for the Prevention of Crimes and the Treatment of Offender, 54. UN Office on Drugs and Crime. 2007. Handbook of Basic Principles and Promising Practices on Alternatives to Imprisonment. UN Publication. ... . Di Indonesia, kebijakan kriminal diwujudkan melaluiUndang-Undang No. 1 tahun 1946 KUHP. Kebijakan pidana muncul sebagai pelindung masyarakat atau social defense dari ancaman tindak kejahatan oleh suatu pihakNawawi 2016.Keberadaan hukum pidana di Indonesia menjadi dasar wewenang negara yang sah sebagai negara hukum untuk mengatur perbuatan-perbuatan tertentu yang memiliki akibat pidana dengan ancaman hukumZunaidi dan Najih 2020. Hukum muncul berdasarkan konfigurasi politik dan kondisi kemasyarakatan pada suatu wilayah tertentu, karena hukum muncul sebagai salah satu alat untuk menjaga harmonisasi masyarakat Anggoro dan Dwiranda 2019. ...Fendi AntoFebriana Nur WidyaningsihSuratman SuratmanMoh. MuhibbinLaw appears in accordance with the political and social configuration of a certain period. This fact indicates that the law continues to require renewal. One of the proofs that the law cannot reach people's lives which continues to develop is the emergence of Emergency Law no. 12 of 1951. The emergency law emerged as a renewal of the Republic of Indonesia Law No. 8 of 1948, and changed the Ordonnantie Tijdelijke Bijzondere Strafbepalingen sbtl. 1948 No. 17. At certain times the emergency law was the right solution, but now the law that has not been updated can cause problems. One of the problems that arise is the ambiguity of the "without rights" element in the use of sharp weapons. The law does not specify which party has the right or the right to not use sharp weapons. In order for the law to continue to be used, a ratio legis is needed. This study aims to examine 1 the ratio of the elements of "without rights" in Article 2 of Law no. 12 of 1951, and 2 the configuration of the concept of Article 2 of Law no. 12 Year 1951 which is ideal in the future. This research is juridical-normative research with a statutory approach. The technique of analyzing legal materials is done by qualitative descriptive. The results of this study include, 1 the phrase "without rights" needs to be specified so as not to cause multiple interpretations, and 2 Law no. 12 of 1951 is no longer relevant to use. Ante NovokmetDirective 2012/29/EU represents a decisive step at the EU level to ensure minimum standards on the rights, support and protection of victims of crime. One of the specific rights of a victim which is promulgated in the Directive is the right to a review of a decision not to prosecute which is laid down in Article 11. The aim of this paper is to analyse selected European models of review of a decision not to prosecute in criminal proceedings in, respectively, Germany, Italy, France and Croatia. Taking Directive 2012/29/EU as a starting point, this article aims to answer the question as to how well the selected legal systems comply with Article 11 and to indicate possible disputes with some traditional principles of criminal procedural law that may arise in the course of implementing the European provisions in national law. Pauline JacobsPetra Van KampenThe Dutch ZSM’ project was launched in March 2011 and implemented nationwide in 2013. Its official aim is to conclusively deal with frequently occurring crime cases in a rapid, astute, selective, simple and society-oriented way, paying due attention to the interests of defendants, victims and society alike. The underlying assumption of the ZSM – and its accompanying focus on the speedy out-of-court resolution of criminal cases that do not necessarily merit the attention of the courts – is that speed’ is beneficial to all involved to defendants, to victims, to the police and the Prosecution Service and to society as such. The question that concerns the authors is whether that assumption is correct. Does a speedy out-of-court resolution indeed do justice to all involved, and particularly defendants and purported victims? In this contribution, the Dutch ZSM process and its focus on the speedy out-of-court resolution is analyzed from the perspective of both the requirements of Article 6 of the European Convention and the social-scientific notion of procedural justice. van KempenThis contribution elaborates on the influence of human rights standards on the system of criminal procedure in the Netherlands and analyses and comments on developments within that system. To that end, it extensively explains and discusses the relevant international and regional fundamental rights instruments, the organisation of criminal justice and the system of criminal procedure in the Netherlands, the position of human rights in Dutch criminal procedure, and the most important changes within criminal procedure that might effect the realization of human rights in the Netherlands. It is stipulated that the Dutch criminal procedure system shows genuine concern for human rights. Where fundamental rights are insufficiently provided for in domestic law this is in general adequately counterbalanced by applying international human rights standards. The case law of the European Court of Human Rights in particular exerts a prodound influence in this regard. Nevertheless, some fundamental changes in criminal procedure in the Netherlands have occurred in the last decade or so, prompted by terrorism, organised crime and the wish to make the criminal justice system more efficient. This has also affected the position of the courts, the prosecution, the defence and victims and how the system safeguards human rights. All changes seem to be in conformity with the human rights standards as set by international organizations such as the Council of Europe and the United Nations. Nevertheless, the legislator, the administration and the courts these days seem to have other concerns than only trying to provide the best human rights standard possible. As a result, fundamental rights seem increasingly to function only as absolute minimum conditions which have to be met, and less and less as guiding principles, the generous fulfilment of which is an aspiration for legislation, policy and practice. Chrisje BrantsFranken StijnThis contribution examines the effect of the uniform standards of human rights in international conventions on criminal process in different countries and identifies factors inherent in national systems that influence the scope of international standards and the way in which they are implemented in a national context. Three overreaching issues influence the reception of international fundamental rights and freedoms in criminal process constitutional arrangements, legal tradition and culture, and practical circumstances. There is no such thing as the uniform implementation of convention standards; even in Europe where the European Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms and the case law of the European Court play a significant role, there is still much diversity in the actual implementation of international norms due to the influence of legal traditions which form a counterforce to the weight of convention obligations. An even greater counterforce is at work in practical circumstances that can undermine international norms, most especially global issues of security, crime control and combating terrorism. Although convention norms are still in place, there is a very real risk that they are circumvented or at least diluted in order to increase effective crime control. Maximo SklanskyFocusing on the relationship between prosecutors and democracy, this volume throws light on key questions about prosecutors and the role they should play in liberal self-government. Internationally distinguished scholars discuss how prosecutors can strengthen democracy, how they sometimes undermine it, and why it has proven so challenging to hold prosecutors accountable while insulating them from politics. The contributors explore the different ways legal systems have addressed that challenge in the United States, the United Kingdom, and continental Europe. Contrasting those strategies allows an assessment of their relative strengths - and a richer understanding of the contested connections between law and democratic politics. Chapters are in explicit conversation with each other, facilitating comparison and deepening the analysis. This is an important new resource for legal scholars and reformers, political philosophers, and social H LangbeinHowever fundamental he may appear to us, the public prosecutor was an historical latecomer. Judge and jury we can trace back to the high Middle Ages. But the prosecutor became a regular figure of Anglo-American criminal procedure only in Tudor times. Further, his appearance then has not been noticed in our historical literature, an especially remarkable omission when we discover that the prosecutorial office was originally lodged with a much-studied institution, the English magistracy. Ever since Maitland coined his famous phrase, that under the Tudors and Stuarts the justices of the peace became the "rulers of the county," they have attracted a substantial scholarship. Nevertheless, this major aspect of the work of the magistracy has remained unknown. The present article documents and accounts for the development by which the justices of the peace became the ordinary public prosecutors in cases of serious crime.
Sistemhukum Indonesia misalnya, baik dalam lapangan hukum pidana, hukum perdata maupun hukum tata negara masih tetap menggunakan sistem hukum dan metoda pendekatan sistem hukum "Civil Law". Sistem hukum "civil law" menempatkan kodifikasi hukum sebagai sumber hukum satu-satunya didalam praktek penerapan hukum.
AbstractPerbandingan hukum pidana merupakan kegiatan memperbandingkan sistem hukum yang satu dengan yang lain baik antar bangsa,negara,bahkan agama,dengan maksud mencari dan mensinyalir perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan dengan memberi penjelasannya dan meneliti bagaimana berfungsinya hukum dan bagaimana pemecahan yuridisnya di dalam praktek serta faktor-faktor non hukum yang mana saja yang hanya dapat di ketahui dalam sejarah hukumnya,sehingga perbandingan hukum yang ilmiah memerlukan perbandingan sejarah hukum. Manfaat Perbandingan Hukum ialah Berguna untuk unifikasi dan kodifikasi nasional, regional dan harmonisasi hukum, antara konvensi internasional dengan peraturan perndang-undangan pembaharuan hukum, yakni dapat memperdalam pengetahuan tentang hukum nasional dan dapat secra obyektif melihat kebaikan dan kekurangan hkum nasional. Untuk menentukan asas-asas umum dari hukum terutama bagi hakim pengadilan internasional. Hal ini penting untuk menentukan the general principles of law yang merupakan sumber penting dari public internasional. Yang menjadi sasaran perbandingan hukum ialah sistem atau bidang hukum di negara yang mempunyai lebih dari satu sistem hukum misalnya hukum perdata dapat diperbandingkan dengan hukum perdata tertulis atau bidang-bidang hukum di negara yang mempunyai satu sistem hukum seperti misalnya syarat causalitas dalam hukum pidana dan perdata, konstruksi perwakilan dalam hukum perdata dan pidana atau sistem bidang hukum asing diperbandingkan dengan sistem bidang hukum sendidri misalnya law of contract dibandingkan dengan hukum perjanjian. Kata kunci Perbandingan, Hukum, Pidana Abstract Criminal law comparison is an activity of comparing one legal system with another, among nations, countries and even religions, with the intention of finding and signifying differences and similarities by giving an explanation and examining how the law functions and how juridical solutions are in practice and which non-legal factors influence it. The explanation can only be known in the history of law, so a scientific comparison of laws requires a comparison of the history of law. Benefits of Comparative Law are Useful for national, regional and international unification and codification. For the harmonization of law, between international conventions and national laws and regulations. national. To determine general principles of law especially for international court judges. This is important to determine the general principles of law which are important sources of the international public. The targets of comparative law are systems or fields of law in countries that have more than one legal system eg civil law can be compared with written civil law or areas of law in countries that have one legal system such as the conditions of causality in criminal and civil law, the construction of representation in civil and criminal law or the system field of foreign law is compared to the system field of private law eg law of contract compared to contract law. Keywords Comparison, Law, Criminainfoeu-repo/semantics/articleinfoeu-repo/semantics/publishedVersionPeer-reviewed ArticleSimilar works Pencariansederhana adalah pencarian koleksi dengan menggunakan hanya satu kriteria pencarian saja. Ketikkan kata kunci pencarian, misalnya : " Sosial kemasyarakatan " Perbandingan hukum pidana : Indonesia - Belanda - Jerman - Austria - Skotlandia - Inggris - Korea - Jepang - Malaysia - RRC - Belgia - Argentina - Greenland - Portugal
Adapunsistem yang dikembangkan di Inggris karena didasarkan atas hukum asli rakyat Inggris disebut sistem common law. Hapusnya hak penuntutan dalam perkara pidana diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang RI dengan No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi, sedangkan pengaturan penuntutan Amerika Serikat dibagi menjadi 2
V8LN.